Di Tasikmalaya, penjual air nira pikulan yang menawarkan dagangannya dengan cara berkeliling masih bisa ditemukan. Ia mematok harga murah, mulai dari Rp 2 ribu saja.
Air nira tak asing bagi warga Tasikmalaya. Warga setempat menyebutnya lahang yang terkenal dengan cita rasa manis dan menyegarkan.
Air nira diproses alami dengan cara tradisional. Penjual harus menyadapnya dari batang pohon nira. Proses pengambilannya menggunakan batang bambu setinggi 1,2 meter. Bambu itu dipasang dalam batang nira yang mengeluarkan air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petani nira harus menaiki pohon hanya menggunakan sebatang pohon bambu yang sudah dimodifikasi layaknya tangga. Dalam bahasa Sunda, bambu itu disebut taraje.
Adalah Nanang, seorang petani dan pedagang air nira yang masih eksis di zaman modern ini. Pria paruh baya ini sejak tahun 1975 sudah mengambil atau menyadap pohon nira. Air nira sebagian dijual langsung, sebagian lagi diolah menjadi gula merah.
![]() |
Tapi Nanang lebih sering menjual air nira secara keliling. Warga Desa Mandalagiri, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya ini berjalan kaki untuk menjual air nira.
Nira dibawa dalam bambu yang sudah dimodifikasi. Bagian atas bambunya hanya ditutup daun pisang yang mengering atau kararas. Bambu ini dibawa dengan cara dikaitkan di lengan kanan atau kiri.
"Saya sudah dari tahun 1975 jualan air nira. Keliling tiap hari ke tempat ramai. Bawa cai lahang (air nira). Jalan kaki setiap hari, kecuali Jum'at hampir 10 kilometer," kata Nanang ditemui detikJabar Kamis (9/2/23).
Bukan persoalan mudah menjual air nira. Selain harus jalan kaki untuk mencari konsumen, air nira juga harus secepatnya laku agar tidak basi. Air nira biasanya dijual sejak pagi usai diambil dari pohonya subuh.
![]() |
"Kalau air nira nggak laku sampai siang, pasti basi. Dibuang aja pak. Kalau nira dari kebun sendiri nggak seberapa rugi. Kalau ambil dari orang lain itu harus saya ganti pak," ucap Nanang.
Di tengah terpaan banyak ragam kuliner modern, pedagang air nira masih mendapat tempat di hati penikmatnya. Rasa manis yang khas dan dipercaya menambah stamina menjadikan air nira tetap diburu.
"Satu porsinya paling Rp 2.000, kadang ada juga yang bayar Rp 5.000. Ada juga yang ambil banyak, dia ngasih Rp 10.000. Tapi, yang paling sering itu ya yang harga biasa-biasa, yang Rp 2.000 itu," ungkapnya.
Dengan harga air nira yang tidak tentu seperti itu, dia tidak banyak mendapat untung. Ia hanya membawa omzet sekitar Rp 45 ribu untuk kebutuhan rumah tangga.
"Alhamdulillah setiap hari habis. Nah, dalam satu hari habis begitu, paling saya dapat Rp 100 ribu, tapi itu dipotong Rp 50.000 untuk modal kalau lahangnya(nira) beli. Rp 10.000 untuk ongkos, kalau diperlukan tambah Rp 5000 untuk makan. Alhamdulillah juga, saya bawa Rp 35.000 untuk dibawa pulang ke istri saya," ungkapnya.
Nanang juga diketahui merawat istrinya yang saat ini mengalami sakit darah tinggi. Karenanya jika sudah selesai berjualan, ia akan bergegas pulang.
"Sudah habis, alhamdulillah, tinggal pulang ke (Desa) Mandalagiri. Besok saya pasti jualan lagi di sini, setiap hari begitu. Saya ada istri sakit di rumah," pungkas Nanang sambil menapakan langkahnya memikul satu buah bambu berupa tabung di pundaknya.
Rata rata pembeli air nira usia dewasa yang sudah terbiasa. Jarang anak-anak muda yang lidahnya sudah mengenal kuliner modern.
"Saya kalau kebetulan ada pedagang air nira pasti saya beli. Rasanya khas manisnya tuh. Nggak giung atau terlalu manis. Tapi seger manisnya. Bikin tubuh bugar," kata Farhan, penikmat air nira.
Baca artikel selengkapnya DI SINI.
(yms/adr)