Kabupaten Maros punya kopi unik bernama kopi karst. Kopi ini tadinya nyaris punah, namun kini industrinya kembali bergeliat karena dihidupkan komunitas.
Selama berpuluh-puluh tahun diabaikan, kebun kopi milik warga di pegunungan karst Leang-leang, Kecamatan Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan kini mulai kembali digarap. Melalui sebuah komunitas, kopi dari petani di Leang-leang itu diolah dan dinamai kopi karst.
Nama kopi karst diambil karena jenis tanaman kopi ini, beda dari tanaman kopi lain yang dibudidayakan di dataran tinggi. Tanaman kopi ini justru tumbuh di kaki-kaki gunung karst (batuan gamping) dataran rendah. Namun, kualitasnya tidak kalah dengan kopi lain yang sudah terkenal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Kopi karst ini memiliki banyak narasi yang menurut kami sangat luar biasa, karena mungkin satu-satunya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Kopi ini tumbuh di dataran rendah di sela karst yang memang karst ini berfungsi sebagai penampung air. Jika diolah dengan baik, kopi ini kualitasnya bersaing," kata founder Celebes Heritage Coffee (CHC), Syaiful, Selasa (15/09/2020) pada detikcom.
Dari literatur yang ada, Syaiful menjelaskan jika pada tahun 1858, tanaman kopi yang ada di kawasan karst Maros sudah lebih dulu dibudidayakan oleh seseorang pedagang berkebangsaan Belanda yang dikenal dengan nama Jacob David Mathijs Mesman.
"Dari sejarahnya, tanaman kopi karst ini telah dibudidayakan oleh seorang Belanda, Jacob Mesman tahun 1858 dan ini dituliskan dalam buku Reisen in Celebes karya Alfred Russel Wallace. Makanya ini kami sangat tertarik," lanjtunya.
Lebih lanjut, kopi karst yang berasal dari Maros ini, dikembangkan oleh VOC di tahun 1920an dan sempat menjadi komuditas yang bersaing dengan jenis kopi lain yang terkenal di Sulawesi Selatan seperti Toraja dan Enrekang.
![]() |
"Nah sampai pada tahun 1990an, masyarakat di sini sudah mulai berhenti. Tanaman kopi mereka perlahan ditinggalkan dan akhirnya terabaikan sehingga tidak ada yang tahu lagi kalau dulu kopi karst ini pernah berjaya," terangnya.
Selama ini, tanaman kopi yang banyak ditemukan bertebaran di kaki gunung karst, sudah tidak lagi dirawat oleh warga. Buahnya pun sudah tidak pernah dipetik, karena petani lebih memilih mengurus kebun lain yang lebih menjanjikan. Terlebih, harga kopi yang mereka olah sendiri itu, tidak bisa lagi bersaing dengan kualitas kopi dari tempat lain.
"Jadi kebun kopi mereka sudah terbengkalai lama sekali. Yah karena memang harganya sudah tidak menjanjikan lagi. Nah kami dari komunitas CHC lalu datang untuk memperkenalkan kembali potensi itu ke mereka dan sekarang sudah mulai lagi tertarik," sebutnya.
![]() |
Selain mengajak warga untuk kembali mengurus tanaman kopi mereka, komunitas CHC juga membeli hasil panen kopi petani di leang-leang dengan harga yang cukup tinggi, setelah itu mereka mengolahnya menjadi sebuah produk kopi pilihan yang kini cukup banyak diminati oleh penikmat kopi di tanah air.
"Kami dari CHC ini yang membeli hasil panen mereka dalam bentuk green bean. Lalu kami olah dengan baik hingga menjadi sebuah produk yang saat ini cukup bersaing dengan kopi lain dari Sulsel. Yah selain rasa, narasi kopi karst ini memang menjadi daya tarik tersendiri," terangnya.
Upaya memperkenalkan kembali kopi karst ini sudah dilakukan oleh CHC sejak tahun 2018. Sejauh ini, para petani kopi sudah mulai semangat untuk merawat tanaman kopi mereka yang telah lama ditinggalkan. Bahkan, CHC juga tengah mempersiapkan bibit tanaman kopi untuk bisa ditanam oleh para petani di wilayah ini.
![]() |
"Dulu tidak ada yang mau urus kopi karena harganya murah sekali. Nah sekarang kami bersyukur karena ada orang yang mau mengembangkannya lagi dan membeli hasil panen kami dengan harga tinggi," kata seorang petani kopi, Alimuddin.
Petani berharap, agar merek kopi karst yang saat ini tengah digagas oleh komunitas CHC, bisa semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia hingga mancanegara karena keunikannya. Tentunya, dengan komuditas itu juga, bisa memberikan tambahan pendapatan bagi warga yang selama ini hanya mengandalkan pertanian padi dan palawija.
(adr/adr)