Warga Kota Pahlawan tentu tak asing dengan hidangan semanggi. Sepintas mirip dengan pecel, tapi hidangan yang disajikan dengan pincuk daun pisang ini sangat khas Surabaya.
Meski salah satu makanan khas Surabaya, namun saat ini sudah jarang ditemui penjual makanan tradisional ini. Sebabnya, untuk bahan-bahan hidangan semanggi juga sulit didapatkan di pasar.
Pecel semanggi merupakan pecel yang umumnya dibuat dari daun semanggi, daun turi dan tauge. Kemudian disiram saus kacang yang kental. Duan semanggi merupakan daun kecil-kecil yang umumnya ada di pinggir sawah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Ciri khas daun ini berlekuk 6 yang unik. Biasanya diungkep dalam wajan panas dan tidak direbus karena daunnya halus. Aroma sangit asap dan tekstur yang renyah kesat jadi ciri khasnya. Makin enak diaduk dengan sambal pecel dan dikunyah dengan kerupuk gendar. Biasa dimakan dengan lontong atau nasi putih hangat.
Nah, salah satu spot yang mungkin bisa kamu masih bisa temui di area Masjid Al-Akbar. Di lokasi tersebut setidaknya ada dua penjual semanggi yang siap melayani kamu menebus kangen sepincuk semanggi.
Kamsiah (45), salah satu penjual semanggi mengatakan dirinya sudah berjualan di sekitar Masjid Al Akbar sejak 8 tahun lalu. Meski begitu, ia mengaku tak berjualan penuh satu pekan.
"Jualannya cuma Jumat, Minggu dan Senin. Tiga hari saja. Selain hari itu ya libur," ujar Kamsiah kepada detikFood, Minggu (9/8/2020).
"Bukanya mulai pukul 06.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB habis Asar. Kalau cepat habis paling pukul 13.00 WIB sudah kukut pulang," imbuhnya.
![]() |
Menurut Kamsiah, alasan membuka semanggi hanya tiga hari saja, karena pertimbangan hari ramai saja. Sebab, hari-hari itu biasanya memang banyak orang yang datang ke Masjid Al-Akbar.
"Kalau Jumat kan ada Jumatan. Habis salat lapar biasanya mampir ke sini makan semanggi. Minggu, pagi sampai siang banyak orang olahraga. Senin masih banyak kan masuk kantor. Selain itu ya biasa saja," terangnya.
"Biasanya yang paling ramai hari Minggu. Itu kan banyak orang habis olahraga. Luwe (lapar) terus pesan semanggi," tutur ibu dua anak itu.
Kamsiah menyebut, semanggi yang dijualnya banyak disukai pelanggannya. Karena, semanggi yang dijualnya tekstur rasanya pas, tidak terlalu pahit atau manis.
![]() |
"Kan orang kadang gak suka pahit, ada juga yang gak suka terlalu manis. Ya tengah-tengah lah. Bikinnya sama dideplok bahan-bahan bumbunya tapi kan harus tahu takarannya biar pas," tukas perempuan asal Benowo itu.
Sedangkan untuk harganya, terang Kamsiah, ia mematok per porsi Rp 10 ribu. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan sampai Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu.
"Harganya seporsi Rp 10 ribu sudah dapat dua kerupuk puli yang kuning itu. Ya sebelum ada Corona sampai Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu. Sekarang sekitar Rp 150 ribu," katanya.
Yati (40), salah seorang pembeli mengaku memang sudah berlangganan semanggi yang dijual Kamsiah. Menurutnya, semanggi yang dijual rasanya memang pas. Tidak pahit tapi tidak juga terlalu manis.
"Ya menurut saya semanggi ini rasanya berkecukupan. Pas di lidah. Setiap habis olah raga setiap minggu pasti saya makan di sini sama suami," tukas Yati.
(sob/odi)