Siapa Pewaris Racikan Gudeg Mbah Lindu?

Siapa Pewaris Racikan Gudeg Mbah Lindu?

Jauh Hari Wawan S - detikFood
Senin, 13 Jul 2020 15:00 WIB
Keluarga menunjukkan foto Mbah Lindu semasa hidup, Minggu (12/7/2020).
Foto: Jauh Hari Wawan S/detikcom
Sleman -

Mbah Lindu, penjual gudeg legendaris di Yogyakarta tutup usia. Ia sudah berjualan gudeg dari zaman penjajahan Jepang. Kini, sepeninggal Mbah Lindu siapa pewaris racikan gudegnya?

Adalah sang anak bungsu, Ratiyah (54) yang dipercaya meneruskan usaha gudeg yang sudah sejak puluhan tahun dijalankan. Beberapa tahun belakangan memang Ratiyah yang setia mendampingi ibunya berjualan gudeg.

"Akan saya teruskan usaha si mbok berjualan gudeg di Sosrowijayan," kata Ratiyah saat ditemui di rumah duka, Klebengan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Senin (13/7/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

gudeg mbah lindugudeg mbah lindu Foto: Detikfood

Ratiyah mengatakan jika ia tidak ingat persis kapan awal mula ibunya mulai berjualan. Namun, ia ingat ibunya berjualan sejak usia belasan tahun.

"Ibu itu awal berjualan sejak usia 15 tahun, dari zaman penjajahan Jepang. Kala itu masih berjualan keliling menggunakan tenggok. Berjalan kaki dari di Klebengan hingga kawasan Sosrowijayan Kota Yogyakarta," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Di Sosrowijayan, Mbah Lindu dulunya tak punya lapak tetap. Ia berjualan dengan berpindah-pindah lokasi menyesuaikan kerumunan. Sampai akhirnya menetap di salah satu Poskamling, masih di daerah Sosrowijayan.

"Beliau cerita berangkat jam 4 pagi setiap harinya tanpa alas kaki. Dulu belum ada kendaraan seperti sekarang, jalannya masih sepi. Sebagai penerangan jalan, pakai obor dan waktu berangkat bersama teman-temannya," ungkapnya.

gudeg mbah lindu yogyakartagudeg mbah lindu yogyakarta Foto: Lusiana/detikfood

Sementara itu, Lahono (60) memastikan usaha gudeg yang sudah dimulai sejak buyutnya akan tetap diteruskan. Saat ini, usaha gudeg itu sudah masuk ke generasi kelima.

"Itu adik saya (Ratiyah) yang meneruskan (usaha ibu). Dulu dari zaman buyut, turun ke nenek, lalu turun ke ibu. Nah sekarang sudah diturunkan sampai ke cucunya," kata Lahono.

Ia menegaskan jika cita rasa dari gudeg yang dibuat oleh generasi setelah Mbah Lindu tidak akan berubah. Resep gudeg telah diturunkan sejak mereka kecil.

"Dari kecil sudah diajari masak gudeg. Hingga terakhir ibu juga masih mantau terus kalau ada yang kurang," kenangnya.

"Simbok itu punya tujuh cucu dan enam cicit. Hampir semua jualan gudeg, jadi memang trah gudeg. Simbol sudah jualan sejak bayarannya masih itungan sak ndil, sak sen, peni sampai sekarang rupiah," lanjutnya.

Selain mempertahankan resep, ia memastikan cara memasak juga tidak akan berubah. Menurutnya, untuk membuat cita rasa gudeg enak, dibutuhkan panas yang stabil.

"Masaknya pakai kayu. Panasnya dari pagi terus bertahan, kalau pakai kayu juga menjaga cita rasa gudegnya seperti buatannya ibu," tutupnya.




(dvs/odi)

Hide Ads