Menjelang buka puasa di masjid tua di Jalan Petolongan no 1, Purwodinatan, Semarang Tengah banyak didatangi warga. Aroma wangi gurih memenuhi ruangan yang berasal dari bubur India yang dibuat hanya di bulan ramadan.
Mangkuk warna-warni tersusun rapi di sisi Utara Masjid yang dikenal sebagai Masjid Jami Pekojan itu. Isian bubur yang wangi dengan kuah sayur krecek, wortel, dan telur sangat menggugah selera. Bubur India yang diolah dengan resep yang sudah ada sejak tahun 1800-an itu selalu menarik minat orang untuk berbuka di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Cara masaknya pun tetap dijaga agar citarasanya tidak pudar. "Bubur dimasak menggunakan kuali tembaga dan dimasak pakai api dari kayu. Kalau bukan tembaga tidak kuat, dan kalau bukan kayu bakar juga tidak bisa matang bagus. Pernah pakai LPG, tidak jadi," kata Ali Baharun (60) pembuat Bubur India generasi keempat di Majid Jami Pekojan, Jumat (18/5/2018).
Bubur dimasak selepas Salat Duhur. Yang membuat masakannya khas yaitu rempah seperti jahe, serai, kayumanis, garam, santan, dan daun salam. Sedangkan kuah dan lauknya berbeda setiap hari tergantung donatur yang membeli.
"Meski kuah dan lauk beda, tapi cita rasanya masih ada dari Bubur India," tandasnya.
![]() |
Bubur sudah matang setelah Asyar dan mulai di tuang di mangkuk-mangkuk. Warga atau tamu yang datang membawa tempat makan pun boleh meminta bubur itu dan membawanya pulang. "Siapa saja yang datang, minta ya diberi, tidak membeda-bedakan," pungkas Ali.
Menjelang adzan maghrib, dibuka dengan ceramah untuk para pengunjung atau jemaah. Ketika bedug Maghrib tiba, warga sudah berada di hadapan mangkuk bubur masing-masing. Biasanya selain bubur, ada juga kurma dan buah serta minuman yang berbeda setiap harinya.
Setidaknya pembuat Bubur bisa memasak 15 sampai 18 kilogram bubur dalam sehari. "Ya alhamdulillah mencukupi, kalau ada yang tidak kebagian maaf, kita mampunya segitu," tandas Ali.
![]() |
Rasa kerukunan ada dalam bubur yang disajikan dimana semua bahan berasal dari donatur, kokinya pun sukarela memasak, dan beberapa warga datang untuk membantu menyajikan. Selain itu masjid yang tidak jauh dari kawasan Pecinan itu juga kadang didatangi warga keturunan Tionghoa yang ingin mencicip Bubur India.
"Ada warga keturunan yang datang untuk mencoba bubur. Ada juga yang malu-malu kemudian minta tolong ambilkan. Tidak apa-apa, kita berbagi untuk siapa saja," tutur pria berusia 60 tahun itu.
Bubur India sebenarnya bukan khas India. Nama tersebut hanya sebutan orang Jawa untuk bubur yang sudah ada sejak 100 tahun lebih itu. Sejarah singkatnya, dulu pedagang dari Gujarat, India, dan Pakistan datang dan menetap di Petolongan. Kemudian dibuatlah masjid di sana untuk beribadah mereka. Para musafir sering berbuka di masjid yang dibangun para pedagang itu.
Saat bulan Ramadan banyak pedagang yang membawa bubur sendiri dan lama-lama terbentuk kebiasaan berbuka dengan bubur. Takmir Masjid kala itu kemudian bekerjasama dengan pedagang untuk menghidangkan bubur saat berbuka puasa.
![]() |
Sejak saat itulah tradisi Bubur India terbentuk. "Bubur India itu sebutan saja, tidak ada yang khas dari India," katanya. Ali menjelaskan dirinya akan berusaha menjaga tradisi penyajian Bubur India di bulan ramadan. Meski tidak tinggal lagi di dekat masjid, ia rela bolak balik dari daerah Pucang Gading untuk menjaga tradisi itu.
"Nanti akan diturunkan kepada siapa saja yang mau meneruskan tradisi ini," tutup Ali. (alg/odi)