Praktik menjaga tradisi bagi umat Hindu di Bali berdampak pada budaya kuliner. Seperti penyajian lawar yang dipertahankan sejak masa Hindu-Buddha di Nusantara.
Jauh sebelum agama dan kepercayaan lain masuk ke tanah air, ajaran Hindu-Buddha menjadi yang paling pertama masuk ke Indonesia. Saat itu bahkan belum terbentuk negara Indonesia, melainkan masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang bersatu bernama Nusantara.
Tanah Dewata atau Bali menjadi bukti nyata ajaran Hindu-Buddha yang masih dipegang teguh dan dijaga tradisinya oleh masyarakat setempat. Salah satu bukti nyatanya terlihat dari penyajian makanan khas yang masih bertahan sejak masa kerajaan hingga sekarang.
Lawar yang identik dengan makanan khas Bali ternyata bukan sekadar suguhan untuk lauk makan saja. Hidangan ini konon sudah ada sejak zaman pra Hindu dan peninggalan ajaran sekte Bhairawa.
Berikut 5 fakta lawar plek khas Bali yang dirangkum melalui berbagai sumber:
1. Asal Usul Lawar
Kadek Edi Palguna, dosen Ilmu Budaya di STAHN Mpu Kuturan Singaraja, menyebut lawar memiliki kaitan dengan persebaran suatu ajaran di Bali. Ada sekte Bhairawa pada masa pra Hindu yang digadang-gadang menyebarkan hidangan lawar sebagai makna dan simbol agamanya.
Lawar kemudian berkembang sejak masuknya agama Hindu dan dinobatkan menjadi makanan khas Bali. Lawar sendiri dianggap sebagai simbol keharmonisan dan keseimbangan dalam pengider buwana dalam konsep Dewata Nawasangga.
Sementara sejarawan lain juga menyebut lawar menjadi bukti lokalisasi Tantrayana melalui Hindu-Buddha di Bali. Awalnya lawar dibuat dalam berbagai warna, hijau, merah, putih, dan kuning, untuk menandakan seluruh arah mata angin.
2. Hidangan Upacara Keagamaan
Lawar di masa lampau tak hanya menjadi hidangan yang dinikmati warga Bali, tapi juga disajikan dalam berbagai acara keagamaan sebagai persembahan.
Sekte Bhairawa menggunakan lawar sebagai persembahan yadnya atau upacara pada setiap persembahyangannya. Setelah tegaknya paham Siwa Sidhanta, penyajian lawar semakin sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali.
Salah satunya dalam Hari Raya Galungan. Penyajian lawar bertujuan untuk merayakan hari kemenangan dan tanda perlawanan terhadap Adharma yang berarti kebatilan atau keburukan.