Pohon lontar (Borassus flabellifer Linn) namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian masyarakat. Tapi bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur, pohon sejenis palem ini punya kegunaan yang sangat banyak.
Dilansir dari Indonesia.go.id, pohon lontar mampu tinggi 10-30 meter dan paling banyak ditemukan di NTT. Pohon yang punya daun lebar satu sampai tiga meter dengan bentuk kipas besar ini juga mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat.
Nyaris semua bagian pohon ini bisa digunakan, seperti batangnya yang dijadikan bahan pembangunan tiang hingga perabotan rumah seperti meja. Sedangkan tandan buah atau mayang lontar dapat menghasilkan air buah lontar (air nira).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Air nira ini didapatkan setelah tandan buah disadap. Setiap mayang lontar dapat menghasilkan buah sebanyak 20-24 butir dengan ukuran buah antara 15-20 cm. Setiap buah berisi tiga buah biji yang tidak terlalu besar dan pipih.
Di Kota Kecil Wini, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, air nira biasanya dipakai sebagai bahan dasar pembuatan sopi atau tuak khas NTT yang bahan dasarnya memang menggunakan buah lontar. Tak hanya menjadi sopi saja, air nira bisa dibuat menjadi sebuah gula lempeng atau gula merah.
Pembuat gula merah khas Wini, Adrian mengatakan benar adanya kalau air nira yang menjadi bahan dasar sopi bisa dijadikan gula lempeng. Bedanya, untuk membuat gula merah tidak ada tahap fermentasi yang dilakukan menggunakan akar sirih hutan.
"Bahan dasar air lontar ini bisa dibuat jadi tuak (sopi) dan menjadi gula lempeng (gula merah). Tapi bedanya tidak difermentasikan dulu seperti sopi," imbuh Adrian kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
Untuk cara membuatnya, Adrian harus membersihkan buah lontar tersebut sampai habis dan kemudian dipotong untuk mendapatkan air nira. Air nira yang didapatkan itu disebut sebagai tuak manis yang kemudian diolah dan dimasak.
"Kayak isinya tuak itu dijepit dulu, terus hasil itu kan dapet air, nah airnya itu yang dimasak. Proses masaknya tergantung air tuak, kalau sedikit hanya 2-3 jam sudah bisa jadi gula. Kalau airnya banyak kita proses masak bisa sampai 4-5 kali, kalau airnya sedikit hanya 1-2 kali, karena gula merah tergantung hasil airnya," ujarnya.
Dari proses tersebut, per hari Adrian bisa mendapatkan 100-200 lempeng yang ia jual dengan harga Rp 15.000 per kilonya. Meski begitu pendapatan dari Adrian tidak seberapa.
![]() |
"Sebulan kira-kira bisa menghasilkan (omzet) dari Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000," ungkapnya.
Untuk mendukung usahanya ini, Adrian pun mengaku perlu bantuan dari pihak bank. Ia memutuskan untuk mengajukan pinjaman kredit ke BRI. Gayung bersambut, BRI memberikan Adrian pinjaman sebesar Rp 5.000.000 di bulan November 2021.
Berkat pinjaman tersebut, kini Adrian memiliki tempat memasak gula lempeng terpisah di samping rumahnya, usai sebelumnya tempat memasaknya menyatu dengan tempat tidur Adrian. Tempat masak itu juga sudah dikelilingi oleh sekat dan ditutupi oleh atap, jadi Adrian bisa memasak dengan nyaman.
Ia juga memiliki 3 alat yang bisa digunakan untuk memasak air nira atau dandang yang dipakai untuk untuk menjadikan air nira tersebut gula lempeng yang masih cair.
"Kami pinjam sekitar Rp 5.000.000, di bulan November 2021. Pinjaman ini digunakan untuk mendukung memajukan usaha gula merah kami ini, untuk biaya angkutan muat kayu, pembelian dandang dan pastinya sangat membantu. Terima kasih banyak atas bantuan BRI karena telah membantu usaha kami," katanya.
Sebagai informasi, detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(akn/ega)