Belakangan banyak gerai di hawker centre di Singapura tutup. Anak muda pun enggan meneruskannya, tapi berbeda dengan pria ini. Ia membangun bisnis hawker centre modern untuk melestarikan warisan bisnis sang ayah.
Hawker centre merupakan sebutan untuk pusat makanan kaki lima di Singapura. Konsepnya serupa food court di mana dalam satu kawasan, pengunjung bisa menikmati beragam makanan yang dijajakan di sana.
Ada ratusan hawker centre di Singapura, namun sayang kini nasib para pemiliknya tengah jadi sorotan. Tak sedikit pemilik hawker centre bangkrut. Mereka terpaksa menutup usaha makanannya karena masalah biaya sewa yang mahal hingga tak punya penerus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya dialami Wong Pixiang yang ayahnya merupakan penjual lei cha fan (teh khas Hakka) alias thunderbolt tea di hawker centre. Sudah 20 tahun sang ayah melakoni bisnis makanan ini.
Ia sadar kalau tidak ada yang meneruskan bisnis ayahnya, maka menu lei cha fan tidak akan dikenali oleh generasi penerus nantinya. "Jika bisnis ini hilang, maka menu ini (lei cha fan) benar-benar tidak akan ada lagi," katanya seperti dikutip dari Mothership (4/5/2022).
![]() |
Wong lantas rela meninggalkan karirnya yang cemerlang di Angkatan Udara Singapura demi meneruskan bisnis hawker centre ayahnya. Ia merupakan generasi kedua dan terbilang sukses karena sudah 5 tahun terakhir menjalankan bisnis ini.
Wong membawa hal-hal modern pada bisnis lei cha fan ayahnya. Ia menerapkan sistem penjualan online hingga pengiriman antarpulau. Fasilitas gerainya pun ditingkatkan pada lokasi keduanya, tak jauh dari stasiun MRT Paya Lebar.
Menyoal menu, lei cha fan sangat jarang ditemukan di negeri Singa. Minuman ini terbuat dari pasta teh atau disebut "lei cha" yang menjadi asal-usul namanya.
Nama "lei" sendiri dalam bahasa China memiliki makna lebih dari satu yaitu "pound tea" dan "thunder". Tak heran kalau lei cha fan memiliki nama lain thunderbolt tea.
Minuman berwarna hijau pastel ini terasa creamy dan gurih. Wong menjelaskan tekstur creamy berasal dari kacang tanah yang dihaluskan. Penambahan kacang ini jua memberi sentuhan rasa manis earthy yang ringan pada lei cha fan.
Selain kacang tanah, lei cha fan juga dibuat dari daun teh hijau, basil, daun ketumbar, hingga biji wijen. Teksturnya sangat ringan dan cair dengan tambahan rasa herba yang unik.
Menurut Wong, lei cha fan adalah tradisi. Minuman ini kerap tersaji di rumah-rumah orang Hakka, China, namun kini semakin jarang. Karenanya ayah Wong terpikir berjualan lei cha fan pada 20 tahun lalu.
![]() |
Gerainya diberi nama Traditional Hakka Lui Cha di Boon Lay. Ayah Wong menjual lei cha fan dan aneka makanan khas Hakka lainnya dengan resep keluarga. Resep ini berasal dari nenek Wong yang merupakan salah satu imigran China pertama yang datang ke Singapura.
Sampai sekarang, Wong dan keluarganya masih memiliki sanak saudara di Hepo, wilayah asal lei cha fan. Hal ini kemudian ditonjolkan oleh Wong sebagai keunikan bisnisnya.
Ia menyebut gerai lei cha fan miliknya merupakan satu-satunya yang memiliki hubungan dengan tempat asal lei cha fan di China. Strategi pemasaran ini rupanya berhasil, sampai-sampai banyak orang Hakka asli merasa bernostalgia saat menjajal menu di sini.
Wong sendiri sudah punya ikatan yang kuat dengan bisnis lei cha fan sang ayah. Hal ini karena sejak kecil, dirinya sudah terbiasa membantu ayahnya berjualan.
Ia lalu mantap keluar dari pekerjaannya yang bagus demi menjadi penerus ayahnya. Ia ingin menjaga tradisi yaitu agar lei cha fan tetap bisa dikenal dan diminati banyak orang.
![]() |
Wong juga sadar kalau keputusannya penuh tantangan. Ia berusaha mempertahankan rasa autentik pada menu-menu buatannya, namun tetap memasukkan unsur modern dan menumbuhkan bisnis hawker centre ini.
Ia mengubah nama gerai yang tadinya Traditional Hakka Lui Cha menjadi Thunderbolt Tea agar menjadi lebih menonjol. Saat ini ia berusaha mengelola dua gerainya dengan baik. Ke depannya ia juga punya mimpi dimana Thunderbolt Tea bisa punya cabang di China.