Lauk nasi kapau disusun bertingkat dengan posisi penjual lebih tinggi dibanding pembeli. Sejarawan ungkap filosofi di balik kebiasaan ini.
Nasi kapau berbeda dengan nasi padang yang selama ini dikenal banyak orang. Salah satu pembeda paling jelas adalah cara penyusunan lauk nasi kapau.
Ragam lauk ditempatkan di wadah atau baskom besar kemudian disusun bertingkat dari atas ke bawah. Posisi penjual ada di atas sehingga bisa menyendoki lauk pilihan pembeli dengan mudah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Sejak Abad 19 Nasi Kapau Dijual Wanita Minang yang Ditinggal Merantau
![]() |
Cara ini tak sekadar memudahkan penjual mengambil lauk, tapi juga mencerminkan sebuah filosofi. Hal ini dijelaskan sejarawan Fadly Rahman dari Universitas Padjajaran kepada detikFood (23/11).
"Penyusunan lauk ini yang membedakan dengan rumah makan Padang di kota-kota besar di Jawa. Hirarkinya kan menempatkan masakan secara berundak, dari bawah ke atas. Tapi kalau di tradisi nasi kapau, sebaliknya. Posisi penjual di atas, hidangan yang disajikan egaliter atau tersentuh oleh pembeli," ujarnya.
Ia menambahkan, "Filosofinya lebih egaliter dibandingkan di rumah makan Padang. Artinya hubungan antara penjual atau pembeli lebih langsung. Ada suasana yang egaliter (bersifat sama atau sederajat)."
Menyoal racikan bumbu masakan Minang, termasuk nasi kapau, Fadly juga menjelaskan adanya pengaruh budaya negara lain.
![]() |
"Beberapa unsur pengaruh dari India sangat menonjol dalam olahan kuliner Sumatera Barat. Seperti penggunaan bumbu kari, lada, dari masa berabad-abad lampau. Selain itu juga penggunaan cabai sebagai pemedas olahan kuliner Minang, berasal dari Portugis. Karena cabai yang pertama kali membawa itu orang Portugis dan Spanyol ke Asia Tenggara, termasuk ke Sumatera Barat," bebernya.
Begitupun dengan rendang atau teknik marandang. "Ini juga identik dengan kuliner Portugis," kata Fadly. Menurutnya orang-orang Portugis punya teknik mengolah atau mengawetkan bahan makanan.
"Sama juga seperti tradisi orang Minang merantau, orang Portugis pun dulu merantau. Mereka melakukan perjalanan lintas laut dari benua Eropa, mereka bawa perbekalan. Di kalangan orang Minang juga demikian. Mereka bawa rendang atau dendeng sebagai perbekalan untuk berdagang, berdakwah, atau belajar," pungkas pria ramah ini.
Baca Juga: Enaknya Nasi Kapau dengan Gulai Tambusu hingga Itiak Lado Mudo
(adr/odi)