Di Kota Malang ada Sate Gebug yang sudah ada sejak 1920 atau usianya nyaris 100 tahun. Kelezatan sate ini dipertahankan turun temurun hingga kini masih diminati pelanggannya.
Sate Gebug itu berada tidak jauh dari pusat perkotaan. Lokasinya di sekitaran Jalan Basuki Rachmat Nomor 113 A, tepatnya di sebelah Mc Donnald's Kayutangan. Warung buka mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. Khusus hari Jumat dan hari besar, warung ini libur.
![]() |
Ukuran sate sendiri terbilang cukup besar, yang pakai lemak dibandrol dengan harga Rp 25 ribu per tusuk, sementara tanpa lemak dipatok Rp 30 ribu per tusuk. selain sate gebug, ada tiga menu masakan lain di warung ini, yakni sop, rawon, dan soto yang kesemuanya berbahan daging sapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah hampir tiga tahun, kami tidak merubah harga. Bahan daging sate fresh, kita memilih bagian berkualitas super atau tenderloin. Makanya, tak jarang kami kesulitas mendapatkan bahan bakunya," kata Rusni Yati Badare (53), kepada detikcom, Selasa (28/7/2020).
Rusni merupakan istri dari almarhum Tjipto Sugiono yang meninggal tahun 2017 lalu, Rusni kini menjadi generasi ketiga yang meneruskan usaha bersama anaknya.
![]() |
Sate gebug mulanya didirikan pada tahun 1920, bangunan untuk warung adalah bekas toko es pada masa penjajahan Belanda yang dibangun pada tahun 1910. Kondisinya masih kokoh dengan pilar bebatuan bercat hitam semakin menjadikan warung ini begitu khas Malang tempo dulu.
Seperti namanya, daging berkualitas super sebagai bahan utama sate dipukul-pukul (gebug) sampai lunak terlebih dahulu. Proses pemanggangan juga dilakukan oleh ahlinya.
Hasilnya, sajian sate gebug benar-benar menggoda untuk segera disantap. Satenya berukuran besar dan padat. Bagian luarnya garing sedikit kecokelatan. Renyah gurih saat digigit tetapi bagian dalamnya lembut juicy. Terasa meresap sekali bumbu khas sate yang dipertahankan turun temurun hampir seratus tahun lamanya. Wajar banyak yang ingin mengunjungi warung sate ini, baik mereka yang berasal dari luar Kota Malang.
![]() |
"Karena bahannya berkualitas atau tenderloin, maka cukup sulit juga mendapatkannya. Kadang tidak sampai sore, kami sudah tutup. Karena sate sudah habis terjual," tutur Rusni.
Rusni mengatakan, setiap hari biasanya menghabiskan hampir 20 kilogram daging sapi berkualitas super. Tetapi, mulai adanya pandemi COVID-19, jumlah pembeli di warung sate 1920 ini sedikit menurun.
Apalagi, ketika pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pembelakuan work form home (WFH) banyak aktifitas masyarakat yang terbatasi demi mencegah sebaran virus. "Ketika awal-awal COVID-19 mengalami penurunan sampai 15 persen. Terus menurun dratis sampai 50 persen saat diberlakukan PSBB," beber Rusni.
![]() |
Meski begitu, ketika detikcom bertandang ke warung ini, jumlah pengunjung memenuhi seluruh meja makan yang disediakan. Bagi yang tak kebagian, harus rela mengantri diluar pintu warung atau memilih untuk menyantap di rumah atau tempat kerja.
Rachmawati (40), salah satu pelanggan mengaku, citarasa sate gebug di warung 1920 tak tertandingi dengan sate-sate berbahan daging sapi lainnya. Karena sate ini legendaris karena sungguh enak disantap. "Bersama teman, saudara sering beli disini, satenya enak empuk dan bumbunya sangat terasa saat dimakan," ungkapnya.
(sob/odi)