5 Rumah Makan Vegan di Jogja Ini Sediakan Menu yang Murah dan Lezat

5 Rumah Makan Vegan di Jogja Ini Sediakan Menu yang Murah dan Lezat

Larastining Retno Wulandari - detikFood
Senin, 10 Feb 2020 11:00 WIB
5 Rumah Makan Vegan di Jogja Ini Sediakan Menu yang Murah dan Lezat
Yogyakarta - Menjalani hidup sehat menjadi gaya hidup banyak warga Jogja. Karenanya makin banyak rumah makan vegan yang sediakan menu lezat dengan harga murah.

Menjadi vegan dan vegetarian tak harus mahal dan kekurangan nutrisi. Karena kini ada banyak pilihan bahan makanan pengganti protein hewani yang berkualitas dan harganya juga terjangkau.

Selain di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, gaya hidup vegan makin populer. Gaya hidup tanpa konsumsi protein hewani dipromosikan sebagai gaya hidup ramah lingkungan. Karena produksi sayuran dan buah tidak merusak lingkungan dan mencemari bumi.

Karena itu menjalani pola makan vegan tidaklah sulit. Rumah-rumah makan yang sediakan menu vegan di Yogyakarta makin banyak. Seperti 5 rumah makan yang punya menu vegan enak dan murah ini. Jadi kalau tak sempat memasak sendiri, mampir saja ke rumah makan ini.


Lusidus

Restoran Vegan Yogyakarta Foto: dok.detikFood/Larastining Retno Wulandari
Rumah makan ini berlokasi di Ruko Babarsari, Jl. Babarsari 21 dan menyediakan menu vegan. Artinya, selain tidak menggunakan daging merah, Lusidus juga tidak menambahkan telur, susu hewani dan olahannya, serta madu.

Koki Lusidus, Suci Susilawati (23 tahun) menjelaskan, olahan sama sekali tidak menggunakan sumber hewani.

"Untuk olahan yang menyerupai daging ayam dan sarden, kami menggunakan protein kedelai dan jamur hioko (shitake). Jamur juga jadi bahan dasar steik," tutur wanita yang akrab disapa Uci ini.

Uci mengaku, bahan baku berasal dari stok makanan beku. Ketika disajikan, tinggal digoreng, direbus, atau dipanaskan. Agar menu bervariasi, mereka menyusun menu mingguan yang berbeda. Beberapa menu mingguan di antaranya nasi Padang, gudeg, dan rawon.

Pengelola Lusidus, Tuty, (45 tahun) bercerita, pada awalnya, Lusidus berdiri untuk memenuhi kebutuhan makanan pribadi. Ia penganut Buddha dan tidak mengonsumsi sumber makanan hewani serta turunannya.

"Awalnya, saat saya di Jogja, saya sulit mencari makanan vegan. Akhirnya, saya buat sendiri, lalu saya jual," ujar Tuty saat ditemui detikcom.

Sebagian besar pelanggan Lusidus berasal dari kalangan mahasiswa vegan. Namun, tak jarang, orang selain vegan turut menyambangi tempat makan ini. Sebab, mereka penasaran dengan masakan vegan.

Menu paket makanan dibanderol dengan harga Rp10 ribu hingga Rp18.500,00. Menu satuannya harganya Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu. Aneka sup disediakan dalam dua ukuran, kecil dan besar.

Veganissimo

Restoran Vegan Yogyakarta Foto: dok.detikFood/Larastining Retno Wulandari
Seperti Lusidus, Veganissimo dibuka atas dasar kepercayaan pribadi, Tomy (38 tahun) pemiliknya yang juga merupakan penganut Buddha.

Konsepnya pun serupa Lusidus, menyediakan bahan baku berupa makanan beku. Bahkan, sebenarnya, pemilik Lusidus, Tuty, dan Tomy berasal dari komunitas wihara yang sama. Maka, ada kemiripan antara kedua warung makan vegan ini.

Selain menyediakan menu tetap, Veganissimo juga mempunyai menu harian berbeda. Seperti nasi sayap bakar yang dibuat dari bahan vegan yang mirip dengan sayap ayam dan lontong sayur Padang.

Tomy menjelaskan, agar menarik minat dan untuk menggalakkan vegan, mereka mengadakan program meat-free Monday. "Menu meat-free Monday terdiri dari nasi jamur crispy geprek, dan jamur ala Kentucky," ujar Tomy.

Pelanggan utama Veganissimo tetap berasal dari kalangan vegan, terutama mahasiswa. Biasanya, mereka memesan melalui ojek daring. Di akhir pekan, pengunjung biasanya menyambangi warungnya bersama keluarga.

"Pelanggan utama masih dari orang-orang vegan. Kalau weekend, yang datang biasanya rombongan keluarga," terang Tomy.

Menu andalan Veganissimo adalah nasi goreng Xiang Chun (rempah khas Tiongkok) dan jamur kremes ala Kentucky. Keduanya dibanderol dengan harga Rp15.000. Semua masakan Veganissimo ramah vegan, tidak ada susu, telur, ataupun madu. Rumah makan ini berlokasi di Kompleks Wisata Kuliner Pringwulung, Jalan Cendrawasih, Depok, Sleman.

Somayoga

Restoran Vegan Yogyakarta Foto: dok.detikFood/Larastining Retno Wulandari
Rumah makan dengan konsep bangunan joglo ini beralamat di Gang Garuni II, Jalan Kledokan Raya, Seturan, Caturtunggal, Depok, Sleman. Berbeda dari Lusidus, Somayoga mengolah masakannya dari bahan mentah atau segar, tidak ada yang dibekukan.

Selain menyediakan makanan berat dan gurih, Somayoga juga menyediakan dessert, seperti brownies wortel. Bahkan, Somayoga menerima pesanan kue tart vegan.

Pemilik Somayoga, Marina C, (51 tahun) yang juga seorang vegan mengatakan Somayoga berprinsip menjadi vegan agar menolong kehidupan binatang dari kekejaman hewan. Inilah yang memotivasinya untuk mendirikan Somayoga.

"Kalau kita memulai untuk hidup vegan satu hari saja, artinya kita 'seolah-olah' sudah membantu seribu kehidupan hewan," tutur Marina.

Marina mengaku, ia hanya mencari bahan-bahan yang mudah didapatkan di pasar tradisional. "Saya pilih bahan baku yang gampang, yang ada di pasar saja. Ketika bahan sudah habis, saya akan lebih mudah menambah stok kembali," jelas Marina.

Pelanggan Marina sebagian besar datang dari wisatawan, baik lokal ataupun mancanegara. Ketika detikcom berkunjung, ada wisatawan dari Singapura yang menikmati makanan di sana. Nasi bakar menjadi andalannya. Menunya dibanderol dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 35.000.

Darllo's Corner

Restoran Vegan Yogyakarta Foto: dok.detikFood/Larastining Retno Wulandari
Rumah makan ini memang tidak sepenuhnya vegan atau lebih tepat disebut vegetarian. Mereka masih menggunakan telur, keju, ataupun madu. Namun, biasanya digunakan sesuai permintaan. Melalui warung Darllo's Corner, pemilik, Asti Irwandiyah (52 tahun) mengusung misi pertanian.

"Kami ambil produk dari kebun pribadi dan Warung Petani Darllo's. Warung ini merupakan sarana agar hasil tani bisa langsung sampai ke konsumen. Ini mampu memotong jalur distribusi hasil pertanian," ungkap Asti ketika ditemui detikcom.

Asti mengatakan, seluruh bahan baku yang digunakan di Darllo's berasal dari kebun dengan pertanian berbasis ekologis. Artinya, seluruh bahan berasal dari pertanian yang memprioritaskan lingkungan hidup.

"Kami tidak menggunakan pupuk dan pestisida yang membahayakan lingkungan. Memang, di awal hasil pertaniannya bagus. Namun, dampak buruknya akan terasa di kemudian hari. Nantinya, generasi seterusnya tidak bisa menikmati kualitas pertanian yang baik," jelas Asti.

Mayoritas pelanggan berasal dari kalangan mahasiswa. Asti merasa, ia memegang tanggung jawab menyediakan makanan sehat yang terjangkau bagi mahasiswa indekos. Sebab, ia pernah mengalami masa seperti itu dan sulit mendapatkan makanan sehat.

"Ya, karena saya juga pernah kos, saya rasakan sulit makan makanan sehat. Makanya, saya turut bertanggung jawab hadir untuk pilihan makanan sehat mereka," tutur Asti.

Menu favorit di sini adalah steak daging vegan original. Meski dinamai "daging", tetapi dibuat dari nangka muda, ketela, dan biji gandum. Jus kale dan jus pegagan menjadi minuman khasnya. Bahan pemanisnya tidak menggunakan gula pasir, tetapi daun stevia dan sari kurma.

Menu makanannya dijual dengan harga Rp19 ribu hingga Rp 32 ribu. Harga minumannya dibanderol dari harga Rpp10 ribu dan Rp18 ribu. Lokasi rumah makannya di Seturan Kuliner, Jalan Seturan I, Kledokan, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Rumah Makan Vegetarian Pelangi

Restoran Vegan Yogyakarta Foto: dok.detikFood/Larastining Retno Wulandari
Rumah makan ini beralamatkan di jalan Nogodewo No.6, RW.01, Gowok, Caturtunggal, Depok, Sleman. Menu yang ditawarkan berupa menu harian. Namun, ada tiga makanan yang selalu ada yaitu lotek, mi pelangi, variasi tahu dan tempe.

Pemilik RM Vegetarian Pelangi, Sri Ambarwati (50 tahun) bercerita, meski menggunakan nama Vegetarian, menu di sini sebenarnya bisa untuk vegan. Bahkan, di sini tidak menggunakan bawang. Sebab, beberapa vegan sudah tidak mengonsumsi bawang.

"Iya, menu yang dijual bisa untuk vegan, tanpa bawang. Namun, kalau ada pesanan dari nonvegan, saya menambahkan bawang," ujar Sri pada detikcom.

Tahun 2008, Sri belajar untuk tidak mengonsumsi olahan daging. Ia pertama kali memulai detoks dengan memakan sayuran rebus dan buah saja. Bahkan, ia menghindari pisang dan avokad. "Setelah enam bulan, saya merasakan efeknya. Saya merasa lebih sehat dan jarang sakit," kenang Sri.

Karena manfaat kesehatan yang didapat, ia pun termotivasi untuk menggerakkan lingkungan sekitarnya untuk beralih ke vegan. Pada 2011, ia pun membuka rumah makan ini.

Mi pelangi menjadi andalan pengunjung. Sebab, ketika warung ini merintis, menu utama yang ditawarkan adalah mi pelangi.
Sesuai dengan namanya, mi pelangi tersedia dalam tiga warna, merah, kuning, dan hijau. Warna merah didapat dari bit, kuning berasal dari wortel. Sementara, daun kelor, daun katuk, dan sawi membuat mi berwarna hijau.

"Saya tetap sediakan mi pelangi karena setiap orang ke sini, sebagian besar karena mi pelangi-nya. Pewarna mi berasal dari sayur-sayuran," ungkap Sri.

Selama mengelola RM Vegetarian Pelangi, tantangan yang Sri hadapi adalah mengubah anggapan miring terhadap makanan tanpa daging ataupun olahannya.
"Banyak orang menganggap, makan sayur dan buah tanpa daging, telur, atau susu hewani bikin lemas, kurang gizi, cuma bisa direbus atau dikukus. Mereka sudah telanjur menyerah dan tidak melanjutkan," ungkap wanita berkacamata ini.

Untuk mengakalinya, Sri membuat daging imitasi dari kedelai. Ia juga menambahkan bawang. Sebab, Sri mengamati, orang awam biasanya masih butuh bawang untuk memperkaya rasa makanan. Ia pun mendapat respon positif.

Untuk menyantap olahan RM Vegetarian Pelangi, pelanggan hanya perlu merogoh kocek mulai dari Rp 5.000 hingga Rp15.000. Mi pelangi dihargai Rp12.000 saja per porsi.
Halaman 2 dari 6
(sob/odi)

Hide Ads