Penjaja Kuliner Ini Bertahan hingga Tiga Generasi karena Cinta Makanan Indonesia

Kuliner Tradisional Lezat​

Penjaja Kuliner Ini Bertahan hingga Tiga Generasi karena Cinta Makanan Indonesia

Tania Natalin Simanjuntak - detikFood
Senin, 17 Agu 2015 09:34 WIB
Penjaja Kuliner Ini Bertahan hingga Tiga Generasi karena Cinta Makanan Indonesia
Foto: Detikfood
Jakarta - Ada begitu banyak makanan modern yang enak dan menggoda. Namun, makanan khas Indonesia tetap punya penggemar. Pasang surut bisnis makanan tradisional tak menyurutkan semangat para penjaja kuliner. Mereka bertahan melestarikan makanan tradisional hingga tiga generasi.

​Racikan bumbu dan teknik memasak tradisional dipertahankan hingga akhirnya sukses memuaskan selera banyak orang. Makanan tradisional penjaja kuliner ini masih terus dicari hingga hari ini. ​

1. Lotek Kalipah Apo (Lydia Jo)

Foto: Detikfood
Zaman yang maju tak menghentikan langkah Lydia Jo dalam mempertahankan racikan lotek resep neneknya. Semangatnya malah membuahkan menu baru yang menambah variasi gerai makanan ia kelola sebagai generasi ketiga ini.

"Saya tetap mempertahankan resep nenek yang dari tahun 1953. Tidak ada yang diubah, kecuali memang jumlah bahan semuanya bertambah. Dari bahan lotek hingga cara mengolahnya pun serupa. Walau semakin bertambah jumlahnya, saya berusaha untuk tetap mengolahnya dengan cara yang sama seperti nenek saya buat,” jelas Lydia.

Walaupun gerainya semakin berkembang, Lydia tetap mematok jumlah porsi yang dijual​ setiap harinya dan tidak pernah tergiur untuk menyediakan lebih dari itu. Lotek yang telah membuka cabangnya di Jakarta ini juga tidak ingin membuat produknya menjadi produk massal.

2. Kupat Tahu Gempol (Nuraini)

Foto: Detikfood
Tak hanya Lydia, Nuraini dari Kupat Tahu Gempol pun berprinsip serupa. Walau sudah berjualan dari tahun 1965, kupat tahu berlumur bumbu kacang yang lembut ini masih juga mempertahankan bumbu aslinya. Selain menumbuk sendiri beras untuk lontong hingga halus, Kupat Tahu Gempol juga menggiling sendiri kacang pilihan untuk membuat bumbu kacang yang lumer mulus di kupat tahunya.

“Padahal bisa saja kita pakai selai kacang biar praktis atau mencampur bumbu dengan kentang. Tapi, semuanya sampai sekarang masih resep ua (kakak dari ibu) saya. Tak ada yang kami ubah, paling hanya sekarang pakai wadah styrofoam yang dialasi daun pisang untuk tempat makan kupat tahu,” jelas Nuraini, generasi kedua penerus kupat tahu di dekat pasar Gempol ini.​

3. Braga Permai

Foto: Detikfood
Braga Permai, restoran yang berdiri sejak tahun 1918 ini dulu ​di​kelola​ oleh orang Belanda. Dahulu, penyaluran gas untuk keperluan dapur didatangkan dari pusat. Gas tersebut dialirkan dengan pipa-pipa hingga sampai di dapur Braga Permai. “Namun, sejak Indonesia merdeka tidak ada sistem seperti itu lagi. Kita pun harus membeli tabung gas dan merombak oven yang dipakai pada zaman Belanda tersebut. Kami masih mempertahankan tampilan depan oven, namun tidak dengan saluran gasnya. Soal resep, jelas masih dipertahankan.” Ucap Willy, selaku General Manager dari Braga Permai. Hingga Braga Permai sudah berganti pengelola, menu andalan mereka seperti Lontong Cap Gomeh, Sop Buntut, hingga Biterballen masih seperti yang dimasak oleh orang zaman dulu.

4. Tak Kie (Ayauw)

Foto: Youtube
Selama berpuluh-puluh tahun, Kopi Tak Kie mempertahankan alamat, bentuk gerai, serta resepnya. Kualitas harus nomor satu di kopi Tak Kie. Jika menurunkan standar yang ada, para pembeli kemungkinan besar tak akan kembali lagi. Kopi Tak Kie menggiling sendiri kopi Lampung sejak tahun 1927. Gerai kopi yang kini ditangani oleh generasi ketiga ini buka sejak pukul 7 pagi setiap hari, dan tak sampai sore sudah dapat dipastikan kopi mereka akan habis.

Gerai kopi yang sekarang dikelola oleh Ayauw ini tak pernah buka hingga malam hari. Sekali kopinya habis, kedai sederhana yang menjadi telah jadi legenda ini lantas akan menutup gerainya. Walau banyak yang berminat untuk menyesap Kopi Tak Kie, mereka tidak tergoda untuk mengolah kopi lebih banyak lagi agar bisa buka hingga malam.

5. Soto Ahri (Deden Agustian)

Foto: Detikfood
Dari beberapa cucu Haji Ahri, Deden Agustian-lah yang akhirnya meneruskan usaha keluarganya ini. Kakeknya yang dulu membuka gerai soto sapinya di suatu gang sempit di Garut sekarang sudah mempunyai cabang di Bandung. Deden berkata, pernah suatu kali gerai soto kakeknya tersebut membuka cabang di tempat yang lebih besar dan layak. Namun, orang-orang tetap saja mengunjungi gerai soto di gang sempit tersebut.

“Akhinrya kami pun menutup tempat yang lebih besar dan mempertahankan gerai di gang sempit kami,” kata Deden. Sama seperti yang lain, Deden juga masih mempertahankan resep sang kakek. “Dari rempah, kecap, kerupuk saya bawa dari Garut. Daging sapi soto kami juga menggunakan daging daging sapi yang muda,” katanya lagi. Walau sudah beroperasi sejak tahun 1943, gerai soto yang mempunyai cabang di Bandung ini juga tidak berminat mempuyai banyak cabang.

Ketekunan dan kesetiaan mereka melahirkan konsistensi pada produk kuliner yang disajikan. Seakan tidak terpengaruh dengan zaman yang semakin maju, bukan berarti sajian lezat ini dianggap kuno. Malahan, tak sedikit anak muda yang langsung menyukai hidangan mereka saat pertama kali mencobanya. 
Halaman 2 dari 6
(adr/odi)

Hide Ads