Secara keseluruhan, budaya hantaran makanan ini punya kesamaan. Misalnya, pada pagi hari, masyarakat yang tinggal di suatu pemukiman akan memasak atau membuat nasi beserta lauk pauk yang spesial. Rendang, gulai, opor, ketupat, hingga kue-kue seperti kue lapis hingga rengginang.
Setelah memasak, sang empunya rumah akan mengemas dan membagi makananannya ke dalam dua atau tiga wadah, pertama wadah untuk orang rumah, kedua wadah untuk tetangga, dan wadah untuk keluarga dekat. Biasanya, wadah makanan untuk tetangga adalah piring dan wadah untuk keluarga menggunakan rantang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan para tetangga lebih kepada satu atau dua jenis makanan, dan hanya menggunakan piring sebagai wadah. Setelah memasak, orang-orang akan duduk di teras rumah seakan 'menunggu' kedatangan kiriman makanan. Tradisi ini bisa sangat unik, karena walau dalam satu rumah hanya memasak satu atau dua macam menu, pada akhirnya akan mendapatkan banyak jenis makanan enak hasil tukaran makanan tetangga-tetangga!
Uniknya, apabila dalam pemukiman tersebut terdiri dari berbagai suku. Masing-masing rumah akan memasak hidangan khas dari daerahnya, seperti orang Palembang akan membuat pempek, orang Jawa akan membuat ayam bacem, dan orang Manado akan membuat ikan bakar. Setelah bertukar makanan, masing-masing rumah akan mempunyai hidangan yang beragam.
Jika dilihat dari masin-masing wilayah, kita mengenal tradisi bernama Munjung yang berasal dari kata 'kunjung' dari daerah Jawa Barat. Munjung biasanya dilakukan mendekati Lebaran dengan cara adik atau anak yang mengunjungi kakak atau orang tua. Tradisi ini juga menyertakan rantang sebagai wadah nasi dan lauk untuk yang dipunjung.
Ada juga tradisi bernama Nganteuran, atau tukar rantang, yang biasa dilakukan turun-temurun. Di dalam rantang, ada nasi, bakakak (ayam panggang) udud (rokok), gula, kopi, dan ragam buah-buahan. Hantaran tersebut juga biasanya dibalas oleh lauk-pauk juga dengan selipan amplop berisi uang.
Masyarakat Palembang pun serupa. Tradisi tukar-menukar makanan ini masih dilakukan hingga sekarang. Namun, isi rantangnya tak lain adalah tekwan, model, pempek, kue jongkong, hingga kue bolu. Tradisi ini berlangsung baik di bulan puasa hingga Lebaran tiba.
Budaya ini semakin unik jika dijadikan kesempatan untuk bercengkrama hingga bercanda bersama keluarga dan teman. Rasanya, sepuluh tahun yang lalu tradisi ini masih berjalan. Namun, entah kenapa semakin hari semakin sedikit orang yang melakukannya, apalagi yang sudah tinggal di perkotaan.
Padahal, masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri saja kerap melakukannya dengan sesama warga Indonesia. Mereka melakukannya dalam rangka nostalgia dan mengenalkan budaya Indonesia yang kental akan kebersamaan kepada anak-anak mereka.
Walaupun lelah karena harus membuat sendiri makanan hantaran, namun disitulah letak kenikmatannya. Jerih payah kita memasak seakan terbayar dengan hantaran makanan yang datang pada kita. Orang Indonesia dahulu jarang sekali membeli atau memesan makanan pada katering atau restoran, seperti yang kerap dilakukan banyak orang sekarang.
(lus/odi)