Seperti dilansir dari www.psmag.com (17/02/2014), pada tahun 1876 lobster merupakan lambang degradasi dan kemiskinan. Bentuk lobster yang menyerupai serangga juga dianggap menjijikkan.
Masyarakat menjuluki lobster dengan sebutan kecoak laut. Namun saat itu lobster tetap dikonsumsi, hanya saja masyarakat memakannya diam-diam dan tidak terlalu sering.
Sekitar tahun 1940-an, masyarakat Amerika mulai membeli lobster dalam kemasan kaleng. Saat itu lobster kalengan dijual dengan harga sangat murah. Sebagai perbandingan, kacang panggang Boston dijual seharga 53 sen tiap 450 gram, sedangkan lobster dalam ukuran yang sama hanya dijual seharga 11 sen. Masyarakatpun justru membeli lobster sebagai makanan kucing peliharaan.
Lalu bagaimana lobster bertransformasi sebagai hidangan mewah? Semua berawal dari industrialisasi. Saat kereta api berkembang sebagai moda transportasi di penjuru Amerika, manajer transportasi menyadari bahwa orang yang tinggal jauh dari pantai tentu tidak tahu mengenai lobster.
Sang manajerpun menyajikan lobster seolah-olah hidangan seafood ini langka dan eksotis. Rupanya cara ini berhasil karena permintaan masyarakat terhadap lobster semakin tinggi. Baru pada tahun 1950-an lobster mulai dikenal sebagai hidangan mewah.
Dari cerita tentang lobster ini kita bisa mempelajari bahwa lobster sendiri tidak pernah berubah dari waktu ke waktu, namun persepsi dan sikap masyarakat terhadap lobster-lah yang mendorong perubahan perilaku konsumen. Bukan tidak mungkin di masa depan lobster akan semakin langka dan mahal.
(fit/odi)