Beberapa posisi kuliner tradisional mengalami pergeseran. Contohnya hidangan khusus bangsawan di masa lampau yang kini dinikmati berbagai kalangan.
Perkembangan kehidupan masyarakat tak terlepas dari perkembangan budaya kuliner setempat. Apalagi jejak perkembangan kuliner yang selalu berubah dari masa ke masa.
Ternyata ada makanan yang bisa disebut alami peristiwa turun tahta. Awalnya beberapa hidangan tertentu ada yang hanya disajikan untuk deretan raja dan bangsawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun seiring berjalannya waktu hidangan-hidangan khusus itu mulai diproduksi secara masif. Hingga kini berbagai kalangan masyarakat diperbolehkan menyantap makanan yang dahulu disajikan secara istimewa hanya untuk darah biru.
Baca juga: Modal Rp 93 Ribu, Pria Ini Sekarang Sukses Jadi Pemilik Kedai Teh
Berikut 5 makanan yang dahulunya hanya dikonsumsi para bangsawan:
![]() |
1. Ilabulo
Di Gorontalo ada hidangan bernama ilabulo yang dahulu hanya boleh dikonsumsi raja dan kalangan bangsawan. Dalam catatan RRI, hidangan ini memiliki arti dalam bahasa Gorontalo sebagai 'totombowata'.
Makanya para raja dahulu menyimbolkan ilabulo sebagai lambang persatuan sebagai perpaduan dari berbagai unsur. Konsumsi ilabulo diharapkan mampu mendamaikan perbedaan dan disatukan dengan penyajian dan rasa nikmat seperti cita rasa ilabulo.
Adapun ilabulo terbuat dari tepung sagu, jeroan hati dan ampela, lemak daging ayam, serta campuran rempah-rempah yang dibungkus daun pisang. Proses memasaknya dilakukan dengan metode kukus atau dibakar.
2. Gulo Puan
Masyarakat Palembang mungkin familiar dengan kudapan manis bernama gulo puan. Faktanya gulo puan dulu tak disajikan untuk masyarakat umum, tapi hanya diperuntukkan bagi raja-raja Kesultanan Palembang.
Namun Indonesia.go mencatat bahwa lambat laun kudapan gulo puan semakin langka. Hidangan yang dibuat dari susu kerbau segar khas Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan ini membutuhkan perjalanan panjang guna mendapatkan bahan bakunya.
Adapun gulo puan ialah susu yang dimasak menggunakan gula merah hingga mirip kue karamel. Sejak zaman dahulu para bangsawan Kesultanan menyantap gulo puan dengan teh atau kopi maupun roti tawar. Kini gulo puan boleh dimasak siapapun dan dinikmati mereka yang mampu menyajikannya.
Makanan para bangsawan di masa lampau berlanjut di halaman berikutnya.
3. Kue 8 Jam
Sebutan nama kue yang unik ini berasal dari proses masaknya yang benar-benar tak boleh kurang dari 8 jam. Durasinya menentukan hasil rasa manis yang legit dan teksturnya yang kenyal berciri khas.
Kue 8 jam banyak disajikan di bagian selatan Sumatera seperti Palembang hingga Lampung. Dahulu, untuk membuat kue ini hanya boleh menggunakan gendok atau pemanggang kuno yang jauh berbeda dengan oven di era modern.
Kue ini di masa lampau hanya disajikan untuk Kesultanan Palembang dan masyarakat biasa dilarang untuk memakan kue ini. Namun seiring berjalannya waktu, kini kue 8 jam banyak dijual dan disajikan pada perayaan penting seperti salah satunya saat Idul Fitri.
4. Coto Makassar
![]() |
Pada abad ke-14, Makassar dikenal sebagai pintu masuk tersibuk di Nusantara. Bangsa Spanyol dan Portugis yang hendak datang guna menjalankan misi perdagangannya berlomba-lomba datang hingga akhirnya diikuti pedagang dari India, China, dan Kamboja.
Ternyata kegiatan perdagangan ini berpengaruh besar pada kerajaan Gowa-Tallo yang memimpin 4 etnis di Sulawesi Selatan yaitu Makassar, Toraja, Bugis, dan Mandar. Masuknya banyak bangsa memengaruhi kuliner yang berkembang, salah satunya ialah coto Makassar.
Racikan daging sapi yang dengan kuah berempah yang kental awalnya tak bisa dinikmati oleh sembarang orang. Alasannya ada 40 macam rempah yang dianggap istimewa sehingga dianggap hanya layak untuk disajikan kepada bangsawaan dan para petinggi kerajaan.
5. Selat Solo
Sekilas dilihat saja, penyajian hidangan bernama selat Solo tak seperti makanan khas Jawa Tengah lainnya. Buku berjudul Etnografi Kuliner Makanan dan identitas Nasional (2021) yang ditulis Adzkiyak menyebut makanan ini muncul ketika Benteng Vastenburg didirikan.
Selat Solo berawal dari hidangan yang saat rapat antara pihak Keraton Surakarta dan pemerintah Belanda terjadi. Pihak Belanda menyebut lidahnya kudang cocok tanpa makan daging, sementara pihak Keraton Surakarta lebih terbiasa makan sayuran.
Inspirasi penyajian selat Solo berasal dari dua hidangan yaitu biefstuk atau beefsteak dan salad. Awalnya makanan ini sama sekali hanya untuk petinggi Keraton dan orang Belanda saja, tapi selat Solo kini dikenal sebagai makanan khas Jawa Tengah yang banyak dicari.
Simak Video "Pelari Newbie Jangan Gegabah!"
[Gambas:Video 20detik]
(dfl/odi)