Isu restoran bersertifikat halal yang memakai zat non halal sempat muncul beberapa waktu lalu. Dalam klarifikasi terkait isu tersebut, LPPOM MUI Pusat juga menjelaskan secara singkat mengenai proses sertifikasi halal dan pengawasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini adalah sebuah prosedur baku (SOP) yang ada di LPPOM MUI. Hasil audit dibahas di rapat auditor. Kemudian hasil rapat auditor dibahas di rapat komisi fatwa. Dan baru keputusannya adalah halal atau tidak," jelas Lukmanul dalam konferensi pers.
Selama dua tahun masa berlaku sertifikat halal, LPPOM MUI melakukan pengawasan yang bervariasi, tambahnya. Pertama adalah pengawasan melekat melalui kewajiban perusahaan mengeluarkan Sistem Jaminan Halal (SJH).
"Sistem Jaminan Halal adalah sebuah sistem yang harus dibangun oleh perusahaan dalam rangka menjaga konsistensi produksi halal. Termasuk konsistensi metode dan juga mencegah terjadinya pencemaran," ungkap Lukmanul.
Perusahaan punya kewajiban mengangkat beberapa internal halal auditor. Selanjutnya audit internal perlu dilakukan oleh auditor halal internal yang kompeten dan independen.
Dalam informasi pada situs LPPOM MUI, audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali. Hasil audit internal disampaikan ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap enam bulan sekali.
Disamping itu, perusahaan juga tidak boleh mengganti bahan baku tanpa persetujuan LPPOM MUI.
"Setiap penggantian bahan baku, mereka harus mendapat persetujuan. Jadi bukan sekedar menyampaikan pemberitahuan tapi harus mendapat persetujuan LPPOM MUI. Tidak boleh melakukan pengubahan baku tanpa persetujuan LPPOM MUI," tegas pimpinan LPPOM MUI masa khidmat 2015-2020 ini.
Terkait inspeksi mendadak, LPPOM MUI pun dapat melakukan sidak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada perusahaan yang sudah bersertifikat halal. Dilansir dari halalmui.org, pengawasan post-sertifikasi oleh auditor halal LPPOM MUI ini untuk meyakinkan dan menjamin bahwa perusahaan benar-benar menghasilkan produk halal sesuai ketentuan.
(msa/odi)