Pegiat kopi Banyumas ini merasakan dampak hebat pandemi Covid-19. Alih-alih meratapi kondisi, ia pilih bangkit dengan ternak kambing dan sapi.
Pandemi virus Corona atau COVID-19 melibas berbagai sektor kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya sektor ekonomi. Apalagi saat ini, masyarakat semakin terisolasi dengan adanya penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang sangat berimbas pada usaha kecil di wilayah Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas. Salah satunya usaha kedai kopi.
Seperti pemilik kedai Lolana Coffea yang sebelumnya membuka gerainya di seputaran wilayah Purwosari, Purwokerto Utara. Tapi setelah terdampak pandemi COVID-19, usahanya mengalami pasang surut, hingga akhirnya dia memutuskan menutup kedainya dan memindahkannya ke Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok sebagai salah satu upaya menggaet edukasi wisata kopi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya kenapa kita tinggal di desa? Tolok ukur itu karena pandemi, mau tidak mau kita harus taati aturan, dan segala sesuatunya memang balik lagi, kenapa kita tinggal di desa? Karena sesudah pandemi ini, kegiatan bisnis kopi di kota itu agak terganggu untuk mobilitasnya dan untuk perputarannya dengan nilai investasi yang sebenarnya lebih tinggi. Untuk mengembalikan nilai investasi itu kan harus banyak yang dilakukan, sebenarnya perjalanannya juga banyak berpengaruh di situ," kata Heri Purwanto atau Heri Lolana, pemilik Lolana Coffea saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
Selama masa pandemi tahun kedua ini, walaupun dirinya telah memindahkan kedai kopinya ke desa, namun di tengah penerapan PPKM Darurat serta aturan yang diterapkan pemerintah setempat berdampak lebih parah dari sebelumnya. Khususnya bagi para pengusaha kedai kopi yang ada di Kota Purwokerto.
![]() |
Bahkan, berbagai inovasi telah banyak dilakukan, namun karena banyak keterbatasan, termasuk minimnya para penikmat kopi di saat seperti ini. Ini adalah tahun dimana para penikmat kopi juga tengah bertahan hidup untuk dirinya sendiri.
"Pandemi ini, kalau dibilang nangis batin. Karena perputaran ekonomi berhenti total. Tidak ada yang beli bahan baku, harus modal, tidak ada perputaran uang sama sekali, dan tidak ada perputaran kegiatan ekonomi sama sekali," ujarnya.
Dia menjelaskan jika sedikit banyak usahanya yang dipindahkan ke desa diakuinya tidak terlalu terkekang dengan peraturan pemerintah saat ini. Berbeda dengan beberapa rekan usahanya di kota yang hampir 50 persen kedai kedai kopi yang ada terpaksa tutup.
"Meskipun tidak seperti yang di kota, yang di kota mau kemana-mana sulit, aturan ring satu ring dua ketat banget. Kalau di desa paling di portal di perbatasan desa itu saja masih bisa masuk. Kegiatan di desa tidak terlalu terpengaruh, yang berpengaruh di perputaran ekonominya, kalau sebatas makan masih bisa seadanya. Kalau untuk perputaran di nilai materi uang itu tidak ada sama sekali," ucapnya.
"Karena jualan online saja berat, yang ngambil ya orang-orang yang kena dampak juga di kedai-kedai, terus yang mereka jualan kopi susu rumahan terdampak juga karena tidak ada yang pesan. Yang beli juga bertahan hidup, kalau bilang penurunan bisa 90 persen. Tahun lalu masih 50:50, kalau saat ini bener bener terjun bebas. Di Banyumas paling 50 persen yang masih bertahan buka, meskipun buka pun, jarang ada yang beli. Apalagi kondisi seperti sekarang banyak yang bertahan hidup untuk dirinya sendiri dulu," tambah bapak lima anak ini.
![]() |
Terlepas dari segala kesulitan para pengusaha kedai kopi di Kota Purwokerto, secara pribadi, dirinya tidak banyak mengeluhkan apa yang tengah terjadi. Dirinya menghayati kehidupan yang diberikan ini seperti proses kopi yang panjang dan penuh tempaan, namun ikhlas memberikan kenikmatan di akhirnya.
"Kalau menyalahkan keadaan aku tidak pernah, itu versi penyikapan, sama diri sendiri kita jujur, ya ini kopi, karena kopi adalah hidupku. Jadi aku menyikapi kopi yang membawaku lebih baik. Jadi keadaanku buruk atau lagi tidak baik, kita jalani saja. Berat iya. Tapi sedikit mengeluh lah, kita saling menyemangati saja ke temen-temen lain, ya memang ini yang harus dihadapi, aturan aturan pemerintah memang harus dihormati. Karena kebijakan dari pemerintah itu mungkin berat banget untuk masyarakat. Tapi kalau bahasa dipolitisasi pasti akan menyudutkan pemerintah, tapi kalau bicaranya ke pribadi kita, mau tidak mau kita harus fight dengan keadaan apapun," ungkapnya.
Heri yang merupakan salah satu pendiri komunitas Ngapak Banyumas Sekopian dan Koperasi Produksi Kopi Gunung Slamet ini sebelumnya memang fokus mengangkat potensi kopi yang ada di Kabupaten Banyumas dan kopi-kopi di seputar lereng Gunung Slamet. Namun semenjak pandemi, dia mengakui jika semua lini ikut terdampak, termasuk petani kopi.
"Yang tutup toko dan yang jual aset ada, ada yang benar-benar sampai tidak bisa ngapa-ngapain, itu hampir semuanya, bukan hanya di sini. Bahkan, petani kopi yang biasanya bisa diambil rutin, karena tidak ada perputaran di kedai-kedai kopi, stok melimpah, dan tidak ada perputaran ekonomi di petani. Beruntung mereka bisa bertahan hidup dengan tumpang sari. Mereka menunggu kondisi ini stabil, jadi dari hulu hilir terimbas semua untuk di kopi," ucap dia.
![]() |
Maka dari itu, Heri yang pernah menjadi manajer properti sebuah perusahaan terpaksa mundur karena jatuh hati dengan kopi. Bahkan, dia lebih sering menyemangati rekan-rekan di komunitas pegiat kopi untuk selalu bangkit mengangkat kopi. Mengeluh dengan keadaan boleh, tapi berjuang untuk terus bangkit di tengah pandemi ini, menurut dia, itu adalah kewajiban.
"Kita semangatnya adalah kita belajar lebih baik itu karena mengangkat kopi, jadi kopi adalah hidupku yang memberi pelajaran banyak tentang hidup, sepahit apapun hidup yang aku jalani, ya inilah yang harus aku jalani, karena ini adalah pemberian Allah, harus benar-benar aku nikmati dan aku syukuri," ucapnya.
Meskipun kedai miliknya yang saat ini dijadikan sebagai lokasi edukasi kopi ikut terdampak, mulai dari job private belajar tentang kopi banyak yang mundur. Dirinya mengaku tetap komitmen mengedukasi orang untuk bicara kopi yang berkualitas, mulai dari cara perawatan sampai panen, penjemuran, sangrai, menyeduh sampai cara menikmati kopi dengan berbagai cara baik kekinian maupun dengan mempertahankan kearifan lokal masyarakat setempat saat mengolah biji-biji kopi.
"Kopi memang yang tertinggal ampasnya, karena yang diambil cuma sarinya, itu juga menjadi inspirasi di saat nantinya kita mati, yang diambil itu ilmu pengetahuan, sari sari ilmu yang kita bagikan, mungkin sedikit tapi berpengaruh. Kopi itu dari buah dan prosesnya panjang, tempaan tempaan ini dari kena sinar matahari, kena tumbukan, kena panas kompor, terus dihajar lagi dengan gilingan, dikasih lagi air panas baru bisa dinikmati. Itu perjalanannya panjang, itulah hidup kita," jelasnya.
Begitu pula dalam penyikapan di kala pandemi COVID-19 ini, dimana perjalanan masyarakat dalam menyikapi pandemi, bagaikan menyikapi proses kopi. Pasalnya, setiap manusia adalah sama, hanya status sosial dan keturunan yang membedakan. Selain itu mengeluh dengan keadaan juga tidak menyelesaikan masalah, apalagi berdebat dengan pemerintah.
![]() |
Maka dari itu untuk menyikapi proses tersebut, selain komitmen dengan kopi, dirinya juga menyibukkan diri dengan beternak sapi dan kambing di lahan milik salah satu warga desa yang memang dijadikan sebagai kedai, lengkap dengan kebun kopi ini.
"Kalau kambing sapi kita belajar, kita membaur, kita titip kambing dan sapi juga, kita juga dikasih lahan sini untuk istirahat dan kita jadikan tempat edukasi. Ini punya pribadi (milik salah satu warga desa) yang jika kita menerima sesuatu hal beratpun ketika ikhlas, pasti akan dikasih jalan lain, walaupun berat iya. Banyak kejadian yang tidak kepikiran terus terjadi, pahit mungkin, tapi ada berkah saat kita menjalani kegiatan baru yang belum pernah kita jalani, pengetahuan baru yang belum kita dapat," ucapnya.
Dia pun berharap pandemi ini segera berlalu, karena kesenangan, cobaan dan kepahitan adalah ujian. Seperti kopi yang di proses secara seimbang.
"Walupun orang melihatnya (kopi) cuma pahit, tapi banyak rasa yang lain. Orang menghadapi masalah di ujian yang mungkin berat, atau menurut mereka kurang baik, ambillah sarinya, sikapilah secukupnya, termasuk dalam pandemi ini. Jadi hidup sepantasnya, sepantasnya hidup," tuturnya.
(adr/adr)