Pernah dengar tentang daun kelor? Daun yang berukuran kecil-kecil ini memang biasanya lebih sering dikaitkan dengan hal mistis. Namun, siapa sangka di balik bentuk kecilnya, ternyata daun kelor punya segudang manfaat untuk kesehatan.
Haida, seorang wirausaha asal Bantul pun awalnya sempat bertanya-tanya soal daun kelor. Haida menjelaskan dirinya tahu daun kelor hanya sebatas peribahasa 'dunia tak selebar daun kelor', yang berarti dunia ini tidak sempit.
Dari peribahasa itulah Haida penasaran dan mencari informasi soal kelor di internet. Hingga akhirnya, ia menemukan potensi dari daun kelor dan berinovasi mengolahnya menjadi berbagai produk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya saya masih buta soal kelor, yang saya tahu (cuma) kelor seperti peribahasa. Dunia tidak selebar daun kelor. Saya pikir itu cuma sebatas peribahasa. Terus saya dengan anak langsung lihat di internet apa sih kelor ini. Sekali saya lihat, betapa terkejutnya saya karena di luar Indonesia apalagi di Afrika itu disebut daun penolong, daun dewa," ujarnya kepada detikcom baru-baru ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan nutrisi pada daun kelor ternyata memberikan banyak manfaat di Afrika, salah satunya untuk memperbaiki gizi anak-anak di sana. Hal ini mengingat pada daun kelor terdapat protein, vitamin A, vitamin C, kalium, kalsium dan lainnya. Akhirnya sejak saat itu Haida mulai tertarik untuk menyulap kelor jadi makanan, termasuk coklat kelor.
Adapun awal mula Haida berinisiasi untuk membuat coklat kelor untuk menarik minat anak-anak. Terlebih anak-anak saat ini banyak yang susah makan sayur, terlebih daun kelor.
![]() |
"Karena anak-anak itu susah dikasih makan kelor. Padahal di Posyandu sudah mulai digalakkan ayo konsumsi kelor. Banyak anak-anak sering kali konsumsi ini, dari yang punya (mata) minus, lebih cepat untuk vitamin mata karena tinggi vitamin A. Apalagi dia kalau kering gini lebih tinggi (nutrisinya) dari basah bisa 17 kali lipat," katanya.
Untuk membuat coklat kelor, Haida mencampur 1 kg coklat putih dengan 100 gram bubuk kelor dan susu bubuk. Dengan begitu, cokelatnya tak hanya terasa manis dan lezat tetapi juga menyehatkan.
Awalnya, coklat terlebih dahulu dicairkan, lalu dicampur bubuk kelor, susu, vanilla dan lesitin kedelai. Usai tercampur rata, coklat lalu dicetak dan ditunggu hingga mengeras. Setelah itu, barulah coklat siap untuk dikemas dan dijual dengan harga terjangkau yakni Rp 10.000 untuk ukuran 25 gr dan Rp 20.000 untuk ukuran 50 gr.
"Makanya saya bikin coklat kelor. Supaya anak-anak tanpa disadari mulai makan. Karena di cokelat kelor lumayan tinggi (kandungan) kelornya. Jadi 1 kg coklat itu 100 gram bubuk kelornya," imbuhnya.
Untuk masa konsumsinya, Haida biasanya juga melihat tanggal kadaluarsa pada coklat yang digunakan. Sehingga kualitas produk coklat kelornya juga tetap terjaga.
"Kalau expired date coklat kita liat dari coklat putih. Kalau dia setahun, bisa dia setahun. Biasanya kita ikut cokelat, apa itu satu atau enam bulan kah," paparnya.
Di samping coklat kelor, Haida pun merambah aneka ragam produk kelor lainnya yaitu masker kelor, kapsul kelor, mie kelor, teh kelor dan lainnya. Berkat inovasinya, kini produk kelor yang ia beri nama Kelorida (kelor buatan Haida) ini telah berjejer di banyak tempat, termasuk Yogyakarta International Airport.
Haida pun mengatakan produknya juga dikirim ke beberapa negara melalui reseller, pusat oleh-oleh atau langganannya. Hingga saat ini, Haida mengatakan telah memiliki 15 reseller
"Ekspor belum, cuma langganan kita dari Bali setiap 2 bulan sekali ambil kapsul kelor itu dia kirimnya ke Dubai. Tapi kalau secara langsung belum," ungkapnya.
Dari usahanya ini, Haida mengatakan bisa meraup keuntungan hingga Rp 2,9 juta per hari. Walaupun omzetnya cukup tinggi, ia mengatakan dalam merintis usahanya dirinya juga dibantu untuk permodalan oleh BRI.
Untuk modal awal, Haida bercerita saat itu dirinya mengeluarkan modal sebanyak Rp 4-5 juta. Namun, ternyata modal tersebut tak cukup mengingat alat untuk mengemas produknya cukup mahal dan ia belum memiliki kendaraan untuk mengantarkan barang dagangannya.
"Modal sendiri waktu itu masih Rp 4-5 juta. Yang paling mahal di kemasan, alat sealer. Terus minjam BRI Rp 25 juta. Itu buat beli kendaraan, motor untuk transportasi kita. Sama estalase langsung kita tambahin," ungkapnya.
Usaha Haida untuk belajar dan berbisnis kelor memang kini terlihat hasilnya. Namun, ia mengatakan usahanya tak akan berjalan jika dirinya tidak bisa melihat peluang dan tidak menerapkan 5R.
"Sebenarnya bagaimana kita menangkap peluang yang ada. Produksi mesti ada 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). Kalau nggak itu UKM rada-rada nggak disiplin. Makanya baru sekarang rumah produksi ditata," pungkasnya.
detikcom bersama BRI mengadakan program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia yang mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di detik.com/tag/jelajahumkmbri.
(ncm/ega)