Rumah makan di Kabupaten Bantul menyajikan menu yang tertulis dalam serat centini. Salah satunya olahan burung emprit yang sedap meresap bumbunya.
Rumah makan bernama Waroeng Dhahar Pulosegaran. Berlokasi di Kompleks Rumah Budaya Tembi Jalan Parangtritis KM 8,6, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul.
Staff bidang Budaya di Tembi Rumah Budaya Suwandi (50) menjelaskan, bahwa serat centhini merupakan salah satu dari ribuan jenis naskah Jawa. Serat centhini sendiri merupakan hasil karya dari Pakubuwono V dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Hasil karya sastra itu ditulis oleh beberapa orang yang salah satunya adalah Raden Ngabehi Ronggo Sutrasno pada tahun 1814 M. Menurutnya, manuskrip Jawa serat centhini itu ditulis dalam aksara jawa dan berbahasa Jawa.
"Nah kebetulan aslinya naskah itu sekitar 4 ribu halaman lebih, dan mengisahkan salah satu tokoh yakni Syekh Amongrogo yang berkelana ke wilayah-wilayah di Jawa dan ketika berkelana itu di setiap tempat itu disuguhi aneka macam makanan dan minum," tuturnya saat ditemui di Waroeng Dhahar Pulosegaran, Minggu (21/2/2021).
Serat centhini itu isinya macam-macam, selain tentang jenis-jenis makanan dan minuman yang ada di masyarakat Jawa yang disinggahi syekh Amongrogo tadi, juga dikisahkan tentang nama-nama tumbuhan, geografi, ilmu filsafat, ilmu agama dan sebagainya.
"Kaitannya dengan makanan, dijelaskan bahwa beranekaragam makanan pokok, lauk pauk, sayur mayur sampai snack itu diungkapkan di surat centhini itu. Tapi di serat itu pada umumnya dituliskan nama-nama makannya, jadi tidak detail dengan cara memasak dan sebagainya," ujarnya.
Dari situlah kemudian banyak lembaga mengkaji tentang makanan dan minuman, yang salah satunya bersumber dari serat centhini. Hal itu berlanjut dengan penerapan menu makanan di Waroeng Dhahar Pulosegaran.
"Untuk di Tembi rumah budaya, karena salah satu lembaga yang mengembangkan budaya Jawa maka salah satu kuliner yang dikembangkan adalah yang berdasarkan pada serat centhini," katanya.
![]() |
Beberapa makanan tradisional khas yang ada di serat centhini, salah satunya olahan burung emprit. Namun, untuk penyesuaian menu tersebut dimodifikasi menjadi tongseng emprit.
"Itu adalah salah satu ciri khas yang ada di serat centhini. Walaupun di dalam serat itu untuk beebrapa jenis lauk pauk digoreng seperti emprit," ucapnya
"Di situ dijelaskan emprit digoreng. Namun seiring berjalannya waktu dikembangkan jadi tongseng emprit," imbuh Suwandi.
Selain tongseng emprit, di warung makan tersebut juga menyediakan menu lain seperti buntil, brongkos, gudeg hingga tupai bacem. Menyoal harga tongseng emprit hampir sama dengan harga tongseng kambing.
"Kalau dulu sebelum ada perubahan Rp 27 ribu satu porsinya. Nah, satu porsi itu berisi 10 ekor burung emprit," katanya.
Selain itu, untuk masakan dipakai rempah-rempah khas Jawa, seperti halnya untuk memasak tongseng emprit. Memakai bumbu seperti lengkuas, kunyit, salam, merica, bawang merah dan abwang putih.
"Itu adalah yang dikembangkan dengan memanfaatkan rempah-rempah asli Jawa tidak dari pabrik. Dan selama pandemi ini kami menerapkan protokol kesehatan dalam memasaknya," ucapnya.
![]() |
Sementara itu, salah satu pelanggan yakni Sholikin (41), warga Kota Yogyakarta mengaku baru pertama kali mencicipi tongseng emprit. Dia menilai rasa tongseng emprit condong lebih ke rasa gurih.
"Saya tertarik ke sini karena menu makanannya tradisional dan mengadopsi manuskrip serat sentini. Kalau untuk rasanya tongseng emprit ini enak kok, seperti tongseng kebanyakan," katanya.
Seperti tongseng kambing umumnya, burung emprit yang mungil dimasak dengan bumbu rempah tongseng. Kuahnya kuning kecokelatan dan disajikan dengan potongan tomat. Aroma rempahnya tercium kuat dengan rasa daging emprit yang gurih empuk.
(dvs/odi)