Nasi putih berlauk sederhana dengan bungkus daun jati dikenal sebagai nasi berkat. Nasi berkat inipun menjadi tren saat pandemi corona. Ini sebabnya.
Bagi orang Wonogiri menyantap nasi berkat, ada juga yang menyebutnya nasi asul asul (nasi hantaran orang hajatan) adalah seperti makanan sehari-hari. Nasi putihnya agak keras tapi pulen, cocok dimakan di segala waktu dan kondisi. Makanya orang Wonogiri sendiri bingung kenapa nasi berkat ini menjadi viral dan tren di kota Solo sejak lebaran hingga saat ini.
Di Kampung Kenteng Ngadirojo Kidul Ngadirojo Wonogiri, bahkan satu kampung ini hampir semuanya membuat nasi berkat atau sego berkat. Gara gara permintaan nasi berkat dari kota Solo, Sukoharjo dan sekitarnya meningkat hingga saat ini.
Salah satu penjual yang masih bertahan membuat dan menjualnya dan mendapat berkah tren nasi berkat adalah Jumiati (32). Saat ditemui detikcom di rumahnya di Ngadirojo Wonogiri, sekitar 2 jam lebih dari kota Solo, Sabtu (18/07) kemarin ia bertutur soal bisnisnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Nasi berkat adalah nasi asul asul, yakni ada orang hajatan dan dibawa pulang itu namanya nasi asul asul. Sudah ada sejak jaman dahulu, ya karena ada covid ini, bisa juga orang kangen. Hajatan di stop jadi buat tombo kangen", jelas Jumiati.
Nasi berkat berisi nasi putih, dengan lauk daging, bihun, oseng oseng lombok ijo, kecambah dan juga tambahan serundeng, dibungkus dengan daun jati muda.
"Ciri khasnya ya pada lomboknya, nasinya asli Wonogiri. Banyak jenisnya, ada yang pake sambel goreng seperti dari Pracimantoro, dan daerah lain yang ke arah Pacitan sana. Yang membedakan adalah tingkat pedasnya dan oseng-osengnya disini warna hijau, sementara didaerah lain agak kemerahan", tambahnya.
Isian nasi berkat adalah nasi putih dengan lauk bihun goreng, tauge pendek, semur daging, dan oseng lombok (oseng kentang dan cabai). Ciri khas lainnya adalah semur daging yang disajikan berupa potongan kecil daging sapi. Rasanya manis gurih dengan tekstur daging yang lembut.
Untuk oseng lombok atau tumis cabe, terdiri dari cabe merah keriting dan hijau serta potongan kentang kecil-kecil. Sensasi pedas akan terasa saat melahapnya, bagi yang suka pedas tentu akan membuat ketagihan.
![]() |
Jumiati menceritakan, awalnya kaget kenapa nasi berkat ini disukai banyak orang.
"Awal puasa kemarin mencoba memulai membuat nasi berkat ini, hari pertama hanya laku 10 bungkus saja. Baru hari kedua puasa, pembelinya banyak mulai 50, 100 bahkan sampai rekor penjualannya 170 bungkus dalam sehari", cerita Jumiati. Sejak saat itulah banyak para tetangga ikutan memasarkan nasi berkat ini, tambahnya.
Jumiati menjual nasi berkat ini seharga Rp 8.000 per bungkus, biasanya isudah ada yang mengambil untuk dijual lagi dengan mengambil keuntungan dan dijual Rp 10 ribu per bungkus. Salah satu pelanggan dan menjual kembali sego berkat ini ke Solo adalah Agus Widanarko (39) warga Sukoharjo. Bahkan nekat berburu sendiri ke pelosok Wonogiri untuk menemukan cita rasa original sego berkat yang sesungguhnya.
Menurut Danar, panggilan Agus Widanarko, adanya pandemi Corona orang tidak boleh mudik dan hajatan dilarang membuat orang2 di perantauan kangen suasana dan makanan tradisional.
"Sejak dulu sebenarnya orang banyak yang suka, munculnya hanya saat momen hajatan saja. Kenapa saya bawa sampai ke Solo Sukoharjo dan lainnya, dulu orang sana nasi berkat nunggu orang punya hajatan. Karena orang luar kota tidak bisa menunggu hajatan, karena kemarin Corona kemudian juga dilarang mudik, mereka tidak bisa ketemu nasi berkat", jelasnya.
Danar sendiri awalnya mengonsumsi nasi berkat untuk dirinya sendiri, kebetulan ada kelebihan ditawarkan lewat online. Ternyata banyak yang berminat, dan menjual sebungkus nasi berkat Rp 11 ribu, dengan modal diantar bagi para pemesanan. Ia juga kadang kadang menjajakannya di mobil di di timur RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo kota.
"Namun yang terbanyak adalah pesanan instansi pemerintah sebagai jamuan makan siang saat rapat atau pertemuan di kantor mereka", tambahnya.
"Jadi masyarakat rindu akan nasi berkat. Ini saya rasakan saat pertama menjual nasi berkat sebulan lalu, respons pembeli sangat tinggi. Ternyata mereka pada kangen makan nasi berkat," katanya warga Sukoharjo ini.
Dia pun berharap dengan menjual nasi berkat bisa menjadi berkah baik dirinya maupun pembeli. Hal ini sesuai dengan filosofi nasi berkat yang bisa memberikan berkah bagi yang memakannya.
Tak hanya berkah, nasi berkat juga rasanya nikmat jika dimakan dengan berbungkus daun jati.
"Saya dan istri itu terdampak Covid-19. Kami dirumahkan sementara sejak pandemi Covid-19. Jadi kami harap nasi berkat ini menjadi berkah buat kami dan pembeli," katanya.
![]() |
Sejarawan muda asal Solo, Heri Priarmoko, melihat nasi berkat bukan hanya sekedar sajian makanan tradisional. "Sego berkat sudah hadir sejak 2 abad yang lalu, dalam Serat Centini, 1814 - 1843 dituliskan para tokoh berkeliling kampung mendoakan yang diincar adalah sego berkatnya", ujarnya.
"Sego berkat tidak hanya hidup saat itu, tapi dia hadir di ruang religi, ruang upacara. Jadi bukan sekedar untuk santap makan, atau kembul bujono tidak! Tapi itu masuk ke dalam dimensi keagamaan masyarakat tanah Jawa saat itu," tuturnya.
Kenapa nasi berkat menjadi ngetren, karena ini adalah makanan istimewa bagi masyarakat Wonogiri atau Gunung Kidul Yogyakarta. Menurut Heri, nasi berkat selalu hadir dalam acara perayaan, karena adanya daging sapi. Orang makan nasi berkat saat pernikahan syukuran, dengan makan nasi berkat setidaknya bisa mengobati rasa rindu mereka.
"Sego berkat juga menjadi jawaban bahwa alam pedesaan, menjadi jawaban krisis yang ada di perkotaan", tambahnya.
"Daun jati tidak hanya sekedar aksesoris makanan, tapi ini menyimbulkan bentuk kemandirian kita sebelum punya piring besi yang dibawa orang Eropa, piring plastik atau kaca yang dibawa orang Tionghoa. Masyarakat jawa saat itu sudah mempunyai kemandirian dengan memetik daun jati sebagai bungkus dan tempat makan", tutupnya.
(dvs/odi)