Istiilah ‘wedangan’ berasal dari kata ‘wedang’ yang dalam bahasa Jawa artinya air panas. Istilah ini dipakai untuk merujuk pada aneka jenis minuman hangat. Kopi, the dengan tambahan jahe, serai dan rempah lainnya. Juga susu, cokelat dan sekoteng.
Berawal dari angkringan HIK, yang kemudian dikenal dengan sego kucing. Sajian ini berupa beragam camilan dengan minuman panas. Sego kucing sengaja dibuat dalam porsi mungil sebagai bagian dari menu camilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan ini kebiasaan ini berpindah ke rumah. Beragam tempat wedangan gedongan memakai kata ‘omah’. Salah satunya Omah Lawas, yang arti harafiahnya rumah lama.
Menempati bangunan rumah bergaya kolonial dengan halaman luas. Ada tempat makan dengan payung tenda di halaman depan. Atau lesehan di bagian ruang dalam yang luas. Juga bisa duduk manis di kursi kayu bergaya jadul sambil nonton TV di teras samping.
Di bagian depan ada dua counter. Gerobak berisi aneka jenis camilan dan makanan. Muali dari tahu, tempe bacem dan goring, sate telur, hati, ampela, usus, nugget, siomay, tahu isi, dan lain-lain.
Menurut pelayan jumlahnya bisa mencpai 50 jenis. Semua makanan yang dipesan ditaruh akan dicatat dan dipanaskan di atas bara api arang. Seperti umumnya di angkringan.
Tinggal duduk menunggu pesanan diantar pelayan. Minuman hangatnya sangat beragam. Dilayani khusus di counter terpisah. Agaknya pengelola angkringan camilan dan minuman berbeda sehingga harus membayar di dua kasir.
Rupanya tak gampang memilih menu sendiri. Nasi yang dibungkus kertas saja ada berbagai jenis, nasi teri, nasi tempe, nasi ayam , nasi terik, dan lain-lain. Belum lagi aneka lauk yang semuanya terlihat sangat menggoda.
Piring anyaman lidi beralas kertaspun akhirnya kami isi nasi terik, tempe bacem, burung puyung goreng dan tahu isi daging. Minumannya teh jahe hangat disajikan dalam gelas kaca tinggi.
Untuk ukuran nasi kucing, nasi terik terlalu besar porsinya. Karena isinya sekitar 4-5 sendok makan nasi, diberi topping terik ayam yang warnanya kuning dan sambal cabai merah.
Ayam suwirnya menebar aroma kunyit dengan rasa gurih santan dan sedikit jejak bawang yang wangi enak. Tak terlalu gurih dan ada rasa sedikit manis. Cocok disuap bersama sambalnya yang ditumbuk kasar dan sedikit pedas.
Untuk melengkapi suapan nasi porsi kecil ini, burung puyuh goreng yang dibumbu bacem ringan, rasanya sedikit manis dengan jejak ketumbar. Meski sedikit liat dan susah dicopoti, dagingnya lumayan gurih.
Nah, kalau tempe bacemnya khas Solo. Tempe bungkus daun yang pipih padat dengan sedikit jejak gosong di kelilingnya. Aroma wangi gula merahnya terasa kuat. Rasa manisnya meresap hingga ke dalam kedelai.
Sisa nasipun kami tuntaskan dengan sepotong tahu isi. Tahu putih dengan isian daging cincang di bagian atasnya. Gurih lembut, meski tak terlalu spesial, cukup buat menuntaskan santapan.
Sayang sekali wedang teh jahenya kurang nendang, kurang pekat dan rasa pedas jahenya hampir tak terlacak. O,ya cara menghangatkan makanan juga kurang serius karena panas hanya sampai di permukaan makanan saja tak sampai ke bagian dalam.
Harga yang dipasang juga lebih mahal dari angkringan. Ini bisa dimaklumi karena tempatnya juga lebih nyaman. Harga makanan dari Rp.2.000 – Rp. 7.000 dan minuman berkisar Rp. 3.000 – Ro. 5.000. Tapi kalau ingin menikmati semilir angin malam di Solo tempat ini cukup nyaman disinggahi.
Omah Lawas
Jl. Dr. Supomo No. 55
Solo
(msa/odi)