Detoks berasal dari kata 'detox' yang merujuk pada proses detoksifikasi. Proses ini merupakan proses alami tubuh untuk membuang sisa hasil metabolisme, limbah yang tidak dibutuhkan, dan zat kimiawi dalam tubuh.
Zat kimiawi tersebut berbahaya bagi tubuh apabila terakumulasi karena bersifat toksin atau beracun. Contohnya zat aditif dalam bentuk pewarna dan pengawet, residu pestisida, obat-obatan, serta mineral tertentu seperti logam dan merkuri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun saat ini, istilah detoks lebih sering dikaitkan dengan diet yang dapat 'membersihkan' sistem pencernaan hingga menurunkan berat badan. Sebenarnya perlukah menjalani diet detoks? Konsultan dan Ahli Gizi Jansen Ongko, Msc, RD memberi pandangannya.
"Tidak perlu melakukan detoks. Tubuh manusia memiliki sistem detoksifikasi alamiah yang disebut ekskresi. Jadi tidak ada istilah harus melakukan suatu program detoks agar dapat membersihkan tubuhnya dari zat berbahaya," ujar Jansen kepada detikFood (04/01).
Ia berpendapat tren detoks makin populer karena tingginya tingkat stress masyarakat perkotaan, teknik pemasaran yang hebat, dan semakin takutnya orang-orang jatuh sakit.
Umumnya program detoks di pasaran umumnya menjual jus buah dan sayur yang diketahui baik bagi kesehatan dan dapat menangkal penyakit. Jansen mengatakan, "Peluang menjanjikan inilah yang dimanfaatkan beberapa pihak dengan mengklaim khasiat buah dan sayur secara berlebihan. Tujuannya agar produknya laku keras."
Kepada detikFood (05/01), ahli gizi Leona Victoria Djajadi mengungkapkan hal senada. "Sebenarnya tubuh kita tidak memerlukan detoks karena ada pengaturan alami asam basa, juga dari hati dan ginjal. Kedua organ ini berfungsi sebagai penyaring, baik racun, lemak, maupun komponen-komponen elektrolit untuk asam basa tubuh."
Alih-alih melakukan detoks, Jansen lebih menyarankan pola hidup sehat dengan makan seimbang dan teratur. Cara ini membuat tubuh mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal dan bukan tidak mungkin membuat perasaan lebih senang dan bahagia.
(adr/odi)