Begini Mekanisme Pengujian Bahan Non Halal dengan Tes Cepat

Begini Mekanisme Pengujian Bahan Non Halal dengan Tes Cepat

Maya Safira - detikFood
Rabu, 25 Nov 2015 19:07 WIB
Ilustrasi: Thinkstock
Jakarta - Temuan bumbu tidak halal di Solaria, Plaza Balikpapan kabarnya didapat dari hasil rapid test. Melalui tes ini diketahui dua bumbu mengandung zat non halal. Sebenarnya bagaimana mekanismenya?

Sebanyak 20 sampel bahan makanan yang dipakai Solaria Plaza Balikpapan disita oleh Tim Gabungan Operasional Razia Daging Ilegal. Delapan dari 20 sampel dikabarkan sudah diuji menggunakan metode tes cepat (rapid test). Hasilnya, dua sampel diduga mengandung zat non halal.

Menurut Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng., Pengajar Program Studi Bioteknologi Universitas Teknologi Sumbawa, prinsip kerja alat tes cepat mirip seperti tes kehamilan. Saat pengujian, sampel harus dilarutkan dalam air. Nantinya strip dicelupkan dalam cairan itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bila hasil positif ada cemaran babi, maka akan muncul 2 pita. Sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan 1 pita.

Dalam penjelasannya, Arief menyebut kemunculan pita karena partikel emas yang diikat pada protein antibodi mengenali antigen spesifik babi sebagai penanda. Kemudian berkumpul di satu lokasi di atas strip, dimana protein antibodi lain telah ditanam dalam bentuk garis.

Pada lokasi garis pertama, dilekatkan protein antibodi spesifik babi. Bila muncul garis maka ada positif cemaran. Tebal garis menggambarkan banyaknya antigen, jika ada kontaminasi cirinya adalah pita tipis.

Sedangkan di lokasi garis kedua, dilekatkan protein antibodi yang bisa mengenali semua jenis antibodi. Pita kedua ini dapat dipakai sebagai kontrol. Jika pita kedua tidak muncul, tes dianggap gagal. Pita kedua harus selalu muncul.




"Keuntungan pakai tes cepat adalah mudah dipakai, tanpa perlu alat khusus dan hasilnya cepat keluar. Ini biasa dipakai dalam sidak," ungkap Peneliti Bioteknologi ini saat dihubungi Detikfood (25/11).

Arief menyebutkan proses pengujian dengan rapid test bisa dilihat dalam waktu sekitar 15 menit. Metode kualitatif ini hanya melihat ada atau tidaknya kontaminasi. Biasa dipakai pada skrining awal.

"Karena itu harus teliti ulang kalau masih ada kecurigaan. Sampel yang diduga ada cemaran, bisa dites ulang di tempat. Mulai dari preparasi awal. Kalau masih positif, sampel dibawa ke lab, dites lagi dengan metode standar lab. Pakai cara yang lebih akurat seperti PCR, ELISA atau LC MS/MS," jelasnya.



Sebab alat tes cepat mudah mendapatkan hasil salah karena berbagai faktor, tambahnya. Arief menyebut kemungkinan kontaminasi dapat terjadi jika bawa kontrol positif di lapangan atau alat yang dipakai untuk persiapan sampel. Baik pisau, wadah, cairan dan sebagainya. Bisa juga bekas pakai atau tidak dibersihkan.

Ia mencontohkan kekeliruan hasil penelitian mahasiswa di Sumbawa memakai alat tes cepat. Saat itu ada 2 sampel yang menunjukkan pita tipis tanda cemaran babi. Kemungkinan perlakuan tidak tepat, maka pengujian dilakukan ulang dengan metode lebih teliti. Hasilnya pun ternyata negatif. Karena itu menurutnya tes cepat tidak pernah jadi alat penentu baik dalam uji pangan maupun kesehatan.

Sementara itu, LPPOM MUI Pusat sedang melakukan uji banding terhadap hasil temuan di Balikpapan. Termasuk uji ke metode lain seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) dan LC-MS/MS (Liquid Chromatography Mass Spectrometry Mass Spectrometry). Hingga saat ini hasil pengujian belum keluar.

(msa/odi)

Hide Ads