Bluefin Tuna dan Pufferfish Terancam Punah Karena Tingginya Konsumsi

Bluefin Tuna dan Pufferfish Terancam Punah Karena Tingginya Konsumsi

- detikFood
Rabu, 26 Nov 2014 12:54 WIB
Foto: Thinkstock
Jakarta - Bluefin tuna alias tuna sirip biru dari Samudera Pasifik sering digunakan dalam sushi dan sashimi berkualitas tinggi. Sayang, ikan ini dan beberapa spesies lainnya kini berisiko punah akibat konsumsi besar-besaran secara global.

Bluefin tuna hanyalah satu dari beberapa hewan terancam punah yang masuk 'daftar merah' Persatuan Internasional Konservasi Alam (IUCN). Spesies lainnya adalah ikan gembung (pufferfish) Tiongkok, belut Amerika, kobra Tiongkok, dan kupu-kupu black glass dart Australia.

Daftar terbaru ini diluncurkan oleh IUCN di Kongres Taman Dunia di Sydney, Australia (17/11/2014). Acara yang digelar setiap 10 tahun ini membahas pengelolaan wilayah dilindungi agar lebih baik. Sebab, mulai terlihat penurunan populasi beberapa jenis spesies.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Setiap update 'daftar merah' IUCN menyadarkan kami bahwa planet ini terus kehilangan keragaman hidupnya yang luar biasa. Terutama karena aksi merusak kita dalam memuaskan nafsu yang semakin besar akan sumber daya.

"Namun, kami punya bukti ilmiah bahwa area yang dilindungi bisa memegang peranan penting dalam membalikkan tren ini," kata Direktur Jenderal IUCN Julia Marton-Lefevre.

Untuk tahun ini, IUCN menaksir 22.413 dari 76.199 spesies terancam punah. Pacific bluefin tuna, contohnya, memburuk dari kategori 'tak begitu mengkhawatirkan' menjadi 'rentan'. Spesies ini terancam punah karena digunakan di pasar sushi dan sashimi Asia.

Karena kebanyakan ikan yang ditangkap masih kecil dan belum bereproduksi, populasinya turun 19-33% selama 22 tahun terakhir. Karena itu industri perikanan harus mengimplementasikan langkah konservasi dan pengelolaan untuk Samudera Pasifik Barat dan Tengah.

Ikan gembung Tiongkok yang dikonsumsi di Jepang dan merupakan salah satu vertebrata paling beracun di dunia masuk ke dalam daftar 'kritis terancam punah'. Populasinya diperkirakan anjlok 99% selama empat dekade lalu akibat eksploitasi berlebihan.

Belut Amerikapun merasakan dampak perubahan iklim, parasit, polusi, kehilangan habitat, dan penangkapan komersil. Seperti diberitakan AFP (17/11/2014), hewan inipun terkena tingginya konsumsi belut Jepang.

IUCN memasukkan kobra Tiongkok ke dalam kategori 'rentan' karena populasinya turun 30-50% selama 20 tahun terakhir. Spesies inipun semakin langka karena populer sebagai sumber makanan.

"Pasar makanan yang semakin berkembang memberikan tekanan terhadap spesies-spesies ini dan lainnya. Kami benar-benar perlu memberlakukan batas ketat terkait penangkapan dan mengambil langkah yang tepat untuk melindungi habitat," kata Kepala Keragaman Hayati IUCN Jane Smart.

Spesies lain yang juga masuk ke dalam daftar adalah siput Malaysia Charopa lafargei. Namanya diambil dari raksasa konstruksi asal Prancis Lafarge yang telah sepakat membatasi kegiatan pertambangannya di habitat siput. Sementara itu, dua spesies moluska asal Malaysia yakni Plectostoma sciaphilum dan St Helena Giant Earwig dinyatakan punah akibat perusakan habitat.

Namun, ada kabar baik bagi dua amfibi di Ranita Dorada Reserve Kolombia. Kedua anggota dari keluarga poison dart frog naik status dan kini masuk kategori 'rentan' berkat upaya pelestarian.

Kongres Taman Dunia yang ditutup pada 19 November menyoroti agenda global terkait daerah dilindungi untuk 10 tahun berikutnya. Acara ini digelar sebulan setelah negara-negara anggota Konvensi Keragaman Hayati PBB bertemu di Korea Selatan untuk membicarakan langkah menghentikan kepunahan spesies pada 2020.

Menurut World Wildlife Fund lewat Living Planet Report edisi September, ada penurunan 52% mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan secara keseluruhan dari 1970-2010.

(dni/odi)

Hide Ads