Pasar Semawis: Pusat Kuliner yang Tetap Eksis

Pasar Semawis: Pusat Kuliner yang Tetap Eksis

- detikFood
Jumat, 29 Okt 2010 11:15 WIB
Jakarta - Di Surabaya, Kya-Kya - ruas Jalan Kembang Jepun yang semula ditutup bagi lalu lintas kendaraan dimalam hari untuk tempat menjajakan berbagai makanan - sudah tutup. Begitu juga Kesawan Square di Medan. Tetapi, di Semarang, Pasar Semawis sudah lima tahun lebih eksis sebagai tujuan wisata kuliner. Begitu pula Pokanjari (Pondok Makan Jalan Teri) di Tegal. Dua tahun yang lalu, Galabo (Gladak Langen Bogan) pun muncul di Solo dan eksis hingga kini.

Pasar Semawis sebetulnya "lahir" bersama peringatan 600 tahun pendaratan Cheng Ho di Semarang pada tahun 2004, digagas oleh sekelompok pelestari tradisi dan budaya di Semarang yang bergabung dalam perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata).

Awalnya, yang mereka selenggarakan adalah Pasar Malam Imlek selama tiga hari menjelang Imlek - dinamai Waroeng Semawis. Pasar Malam Imlek adalah tradisi berbelanja segala macam keperluan menjelang Tahun Baru Imlek. Ketika itu, atas prakarsa Presiden Abdurrahman Wahid, Imlek baru resmi dinyatakan sebagai hari libur nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Uniknya, yang datang berduyun-duyun ke Waroeng Semawis itu bukan hanya kalangan keturunan Tionghoa, melainkan sebagian besar masyarakat Semarang yang memang haus hiburan. Maklum, di Pasar Malam Imlek itu hadir juga berbagai kuliner pilihan Semarang. Akibatnya, dua tahun kemudian Waroeng Semawis pun "didaulat" menjadi acara tetap yang wajib hadir pada hari-hari akhir pekan. Sejak itu, namanya pun diganti menjadi Pasar Semawis.

Ikon kuliner yang cukup menonjol kehadirannya di Pasar Semawis adalah nasi ayam - mirip dengan nasi liwet di Solo - yaitu nasi liwet gurih (dimasak dengan santan) berlauk suwiran ayam opor, telur pindang, dan sambal goreng labu siam. Yang berjualan nasi ayam di sini adalah Ibu Atun - bila pagi mangkal di SD/SMP Karangturi - salah nasi ayam terbaik di Semarang.

Ikon kuliner Semarang lainnya yang wajib dicicipi adalah Es Puter Cong Lik dan wedang kacang. Yang disebut terakhir ini adalah kudapan khas peranakan, dibuat dari kacang tanah yang direbus hingga hancur, diberi gula, dan dimakan dengan cakwe atau ketan kukus. Sedang Es Puter Cong Lik menyajikan berbagai citarasa - favoritnya adalah es puter durian - dengan variasi topping yang menarik, antara lain: siwalan (buah lontar), durian, kelapa muda, dan lain-lain.

Pasar Semawis kini diramaikan oleh sekitar 30 gerai makanan - dimsum, siomay, soto, sate, kue basah, pempek, mi, gudeg, dan lain-lain. Ada juga beberapa restoran yang memang berada di lokasi tersebut, antara lain: RM Cahaya (Boen Tjit), Tio Ciu 77, dan RM Donata.

Sayangnya, ada dua gerai favorit yang hilang dari Pasar Semawis, yaitu Soto Jack Brewok dan Sate Manis Nyonya Gunung yang dulu selalu saya singgahi. Dari dulu saya juga selalu bertanya, kenapa dua ikon kuliner Semarang - tahu pong dan nasi goreng babat - justru tidak terwakili di Pasar Semawis? Mengapa pula siomay Cap Kauw King dari Gang Ayam yang tiap pagi mangkal di Gang Warung itu malah tidak ikut meramaikan? Menurut saya, Pasar Semawis akan dapat bertahan bila para pedagang di sana benar-benar merupakan yang terbaik. (Bondan Winarno)

Pasar Semawis
Gang Warung, Semarang
Jumat-Sabtu-Minggu
atau hari libur nasional
18.00-23.30

(dev/Odi)

Hide Ads