Warung bakso ini jadi sorotan karena bukan diberi label halal, melainkan dilabeli bakso babi oleh Dewan Masjid Indonesia karena alasan yang kuat.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pemerintah Indonesia sangat memerhatikan status kehalalan makanan. Tidak hanya bahan mentah, tetapi juga sertifikasi untuk bisnis kuliner tanpa terkecuali.
Biasanya, sertifikasi yang diberikan ialah untuk menjamin kehalalan tempat makan tersebut. Baik label halal dari LPPOM MUI maupun BPJPH semuanya valid untuk menyatakan kehalalan suatu tempat makan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun kali ini ada pemandangan yang berbeda. Dilansir dari akun Instagram @halalcorner, Selasa (21/10), sebuah warung bakso justru diberi label penanda tak halal.
![]() |
Pihak pemberi label ialah Dewan Masjid Indonesia (DMI). Penandanya berupa spanduk berukuran cukup besar yang ditaruh tepat di atas warung bertuliskan 'Bakso Babi'.
Rupanya, penanda tersebut diberikan bukan tanpa alasan. Aisha Maharani, selaku inspirator halal, menjelaskan kronologi yang membuat warung tersebut dilabeli 'Bakso Babi'.
Bermula dari sebuah warung bakso di kawasan Ngestiharjo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang ramai akan pembeli termasuk para muslim. Padahal penjualnya sendiri membenarkan ada campuran babi dalam baksonya.
Sayangnya, penjual tidak memberi peringatan visual yang jelas untuk mengantisipasi. Lembaga yang berwenang telah mengingatkan penjual untuk memberikan logo atau keterangan bakso yang disajikan mengandung babi.
![]() |
Setelah diberi peringatan, penjual tersebut terkesan hanya memahami, tetapi tidak melaksanakan. Sejak pemberian peringatan, pemilik warung bakso masih belum memberikan logo atau penanda yang mengingatkan pelanggannya tentang bakso babi yang disajikan.
Bahkan, menurut laporan, tidak sedikit muslim yang masih datang dan makan bakso ke sana. Hingga akhirnya pihak Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo melakukan inisiatif.
Spanduk bertuliskan bakso babi difasilitasi oleh pihak DMI guna mengingatkan pelanggan muslim yang hendak makan di sana. Spanduk juga tidak dibuat atau dipaksa untuk dipasang, tetapi sudah melalui musyawarah dengan pihak dan perangkat desa terkait.
Kejadian seperti ini dapat menjadi pembelajaran bagi muslim untuk senantiasa berhati-hati saat memilih makanan. Jangan sampai hanya karena FOMO (takut ketinggalan tren) sampai tak menyadari masuknya makanan non halal ke dalam tubuh.
(dfl/adr)