Kasus bakery online di Jakarta yang membuat klaim roti gluten free palsu masih ramai dibicarakan. Hal ini membuat publik perlu meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian saat membeli produk makanan berlabel sehat.
Media sosial dihebohkan dengan kasus toko bakery online di Jakarta, Bake n Grind, yang membohongi pelanggan dan publik. Mereka melabeli produknya gluten free, egg free, hingga vegan, padahal aslinya tidak seperti itu.
Kecurangan bakery itu terungkap setelah viral unggahan korban, ibu bernama Felicia Elizabeth. Melalui akun Instagram @feliz88eliz, Felicia menceritakan kondisi anak balitanya yang bernama Kai semakin parah usai memakan produk kue Bake n Grind. Kai mengalami reaksi alergi berat di seluruh tubuh.
Felicia tak asal melempar tuduhan. Ia sudah melakukan pengecekan dengan mengirimkan sampel produk Bake n Grind ke laboratorium PT Saraswanti Indo Genetech untuk dilakukan pengujian kandungan gluten. Hasil uji yang keluar pada 24 September 2025 menunjukkan kue yang diklaim gluten free ternyata positif mengandung gluten.
Kasus ini masih terus bergulir karena pemilik Bake n Grind belum mengklarifikasi isu ini secara terbuka. Namun sang korban, Felicia, mengatakan sudah bertemu dengannya. Ia mengatakan pemilik Bake n Grind bakal muncul dalam waktu dekat ke publik.
Sorotan pun masih terpusat pada bakery ini, mengenai praktik curang yang dilakukan pemiliknya karena tega membohongi konsumen dengan label palsu. Tak sekadar persoalan bohong, tetapi pemilik bakery juga membahayakan nyawa pelanggan.
Sebab banyak konsumen yang secara khusus membeli produk darinya karena mengalami masalah kesehatan, seperti tidak bisa mencerna gluten. Hasilnya, mereka yang tidak tahu hal ini, mengalami efek samping usai memakan produk Bake n Grind.
Ahli kesehatan pun ramai menyoroti kasus ini, salah satunya dr. Dion Haryadi melalui unggahan Instagram @dionharyadi. Ia mengatakan kasus ini harus diusut tuntas, bukan masalah sepele.
"Kasus ini bisa fatal. Gluten adalah protein yang ditemukan dalam serealia, terutama pada gandum dan turunannya, seperti tepung terigu, dan makanan-makanan yang dihasilkan, seperti roti, pastry, mie, baluran gorengan, dan lainnya," jelasnya di awal video.
Ia melanjutkan, "Secara umum, gluten aman dikonsumsi. Namun di orang-orang yang memiliki sensitivitas terhadap gluten, yang punya alergi gluten, dan celiac disease, ini bisa nimbulin masalah," jelas dr. Dion. Dampaknya kembung, diare kronis, konstipasi, gatal-gatal di kulit, hambatan pertumbuhan pada anak-anak, dan bahkan kalau benar-benar alergi gandum bisa timbul reaksi anafilaksis yang membahayakan jiwa.
Untuk memeriksa seseorang sensitif terhadap gluten pun melalui proses yang panjang dan melelahkan. Jadi, dr. Dion sangat berharap semua penjual makanan bertindak jujur. Jangan sekadar 'gimmick marketing' dengan memberi label palsu.
dr. Mario Johan melalui Instagram @dr.mariojohan juga buka suara. Ia menegaskan kalau tak semua orang beli roti gluten free hanya sekadar gaya-gayaan hidup sehat. "Ada orang dengan penyakit-penyakit tertentu kayak alergi gluten, penyakit celiac disease di mana ini penyakit autoimun kalau dia konsumsi yang ada kandungan gluten sedikit saja, itu bisa merusak usus halusnya," kata dr. Mario.
Ia mengatakan, permasalahan alergi tidak bisa diremehkan karena ada orang yang bisa meninggal karena alergi. "Jangan main-main dengan klaim yang namanya gluten free karena memang ada orang yang nggak bisa konsumsi gluten," tutupnya.
Menyampaikan pandangan dari sisi dokter spesialis gizi klinik, dr. Chintya Tedjaatmadja melalui akun TikTok-nya memberi penjelasan. Menurutnya, bagi sebagian orang, gluten free bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan kebutuhan medis.
"Kesalahan label bisa menyebabkan reaksi serius, terutama bagi yang sensitif terhadap gluten. Ini adalah komitmen terhadap keamanan konsumen," ujarnya.
Memberi label gluten free termasuk dalam klaim khusus dalam regulasi pangan. "Dan harus bisa dibuktikan secara ilmiah dan legal. Kalau untuk gluten free, maka kadar gluten di produknya itu harus di bawah 20 ppm. Dan ini perlu uji laboratorium dan dapur produksinya harus terpisah," jelas dr. Chintya.
(adr/adr)