'Food Reviewer' bisa menciptakan ekosistem sehat di industri kuliner
![]() |
Menurut Gupta Sitorus selaku pebisnis kuliner dan jurnalis gastronomi Indonesia, pengulas makanan adalah profesi yang bisa berdampak positif bagi industri kuliner.
"Jika dilakukan secara etis, sebuah review bisa menciptakan ekosistem yang lebih sehat bagi konsumen, chef, brand dan pencinta kuliner. Tanpa adanya review, sektor kuliner akan kehilangan akuntabilitas dan keragaman," ujarnya yang kini tengah mendorong pembentukan Dewan Kuliner Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi konsumen, ulasan dari pengulas makanan akan memberikan akses informasi yang membuat konsumen bisa membuat pilihan kuliner sesuai. Sementara bagi restoran, ulasan bisa jadi umpan balik konstruktif yang bisa memberdayakan pemilik untuk menyempurnakan produk atau layanan mereka.
Menurut Gupta, seorang pengulas makanan setidaknya perlu memiliki 6 etika. Pertama, bersifat jujur dan transparan. Kedua, memelihara integritas. Ketiga, mengedepankan unsur menghargai dan adil. Keempat, yang dinilai penting bagi Gupta adalah, pengulas makanan perlu memiliki sensitivitas budaya.
"Misalnya ada food reviewer mengunjungi sebuah wilayah, lalu dengan arogan bilang makanan wilayah itu nggak enak, tanpa memahami latar belakang dan budaya setempat. Ini bisa membuat konflik tajam antara penduduk setempat dan pendatang," jelasnya.
Kelima, pengulas makanan perlu memiliki tanggung jawab sosial. "Reviewer harus paham bahwa review mereka punya dampak terhadap bisnis, jika ada feedback negatif bisa dilakukan secara direct ke pemilik bisnis tanpa harus membuat dampak negatif ke bisnis," lanjut Gupta.
Terakhir, pengulas makanan haruslah seorang yang ahli di bidangnya dan memiliki pengetahuan kuliner. "Reviewer sebaiknya punya pemahaman kuliner yang baik, jadi bisa memberikan gambaran lengkap tentang rasa, teknik masak, dan lainnya, kata Gupta.
Ia menyayangkan saat ini banyak pengulas makanan tidak memahami prinsip penting mengulas makanan. "Food reviewer sering terjebak pada pendapat yang bias dan subjektif. Rasa itu adalah hal yang personal, meskipun ada prinsip universal tentang enak dan tidak enak. Dalam hal ini, food reviewer harus menegaskan preferensi mereka dan fokus saja pada faktor-faktor objektif, seperti kecepatan pelayanan, dan kebersihan."
Gupta menyayangkan, beberapa pengulas makanan kerap melakukan 'power play'. Artinya, mereka melakukan strategi atau tindakan untuk memperoleh keuntungan dengan cara agresif. "Maka dari itu, food reviewer perlu punya kebijaksanaan, keadilan dan empati dalam membuat sebuah review," tutupnya.
(adr/odi)