Awamnya makanan bagi umat Muslim lebih dipertimbangkan kehalalannya. Namun bagaimana dengan thayyib yang ternyata juga harus diperhatikan?
Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sehingga tak perlu lagi diragukan kehalalan makanan yang beredar di tanah air. LPPOM MUI bakan menjadi lembaga yang mengawasi dan memastikan suatu produk memiliki kehalalan yang jelas untuk dikonsumsi Muslim.
Sebenarnya makanan yang aman untuk dikonsumsi oleh Muslim tak hanya harus halal. Sebelum mengonsumsi makanannya, Muslim harus memastikan halalan thoyyiban atau kehahalan dan kebaikan makanan.
Halal Corner (7/2) menyebutkan bahwa anjuran untuk memilih makanan secara jelas disebutkan pada Alquran. Dalam Quran Surat al Baqarah ayat 168 dijelaskan bahwa Allah SWT menyerukan kepada seluruh manusia, tidak hanya orang beriman agar selektif dalam memilih makanan.
"Wahai manusia, makanlah sebagian [makanan] di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata," (Q.S Al Baqarah:168).
Jika halal dan haram adalah aspek hukum tentang boleh atau tidak bolehnya suatu makanan untuk dikonsumsi, berbeda dengan thayyib. Thayyib yang berarti baik bermaksud menjelaskan efek makanan terhadap tubuh konsumennya.
Faktanya tidak semua makanan yang halal dipastikan thayyib. Misalnya daging kambing memang halal, tetapi ketika dikonsumsi oleh orang dengan riwayat kolesterol yang tinggi akan membahayakan kesehatan.
Sama halnya dengan santan yang terbuat dari bahan halal dan dihalalkan untuk dikonsumsi tetapi jika dikonsumsi berlebihan akan memicu lonjakan kolesterol. Sehingga dua unsur, yaitu halal dan thayyib, tidak boleh dilupakan oleh umat Muslim.
NU Online juga menyebutkan makna thayyib bisa diartikan dalam berbagai arti. Seperti suci dan bersih, baik dan elok, enak, hingga pada konteks fiqih thayyib dimaknai sebagai makanan yang halal.
Selain tidak membahayakan kesehatan dan nyawa, produk yang thayyib juga berarti tidak berdampak buruk atau memengaruhi akal secara negatif. Misalnya alkohol yang dapat digunakan sebagai obat tetapi jika disajikan dalam bentuk minuman dapat menghilangkan akal konsumennya sehingga dikategorikan tidak halal dan tidak thoyyib.
Saat menyantap atau menikmati makanan, umat Muslim juga harus beretika dengan kesantunan dalam memperlakukan makanan. Etika saat makan juga menjadikan sebuah makanan thayyib untuk dikonsumsi.
Banyak mazhab imam yang sampai berdiskusi dalam untuk menetapkan makanan halal dan thayyib yang dapat dikonsumsi umat Muslim. Ajaran Islam adalah sebaik-baiknya ajaran yang tidak hanya mengutamakan kenyangnya perut tetapi juga kebaikan dan manfaat makanan untuk tubuh konsumennya.
Wallahualam bissawab.
(dfl/adr)