Meski bukan hal baru dalam dunia kuliner, konsumsi cacing sebagai makanan masih dianggap hal tabu bagi banyak orang. Berbeda dengan beberapa negara ini.
Makan cacing memang sudah menjadi hal yang biasa. Di beberapa negara bahkan cacing termasuk ke dalam budaya kuliner yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari.
Meski sering dianggap sumber pembawa penyakit dan menjijikkan. Tapi cacing, ulat, hingga belatung tetap menjadi makanan yang populer di beberapa negara mulai dari Filipina hingga Amazon.
Budaya makan cacing ini memiliki ciri khas tersendiri di setiap negara. Ada yang dimakan dalam kondisi mentah, ada yang dijadikan sate, makanan kaleng hingga dimasukkan ke dalam keju.
Dilansir dari Great Big Story (16/01), berikut lima budaya makan cacing di beberapa negara.
1. Cha Ruoi
Kalau di Vietnam, cacing ini disajikan dengan cara yang lebih menarik. Cacing tanah jadi bahan utama populer dalam pembuatan omelet daging yang enak dikenal juga dengan nama cha ruoi.
Untuk cacing tanah yang digunakan juga tak sembarangan. Karena kualitas omelet ditentukan dari pemilihan cacing tanah yang digunakan. Cacing tanah diambil dari peternakan dan harus dalam keadaan hidup.
Tampilan cha ruoi ini mirip seperti fuyunghai. Di dalam kocokan telur terdapat daging cincang dan cacing tanah utuh yang sudah dibersihkan, kemudian ditambahkan dengan bawang daun dan rempah lainnya agar rasanya lebih gurih.
2. Mealworm
Di Hong Kong, ulat juga jadi makanan populer yang dikemas dalam bentuk kering atau makanan kaleng. Mealworm atau ulat Hong Kong merupakan larva dari kumbang dengan bentuk menyerupai belatung.
Mealworm ini sering digunakan sebagai pakan burung karena mengandung protein dan kalori yang tinggi. Banyak juga negara-negara di Asia yang mengonsumsi mealworm sebagai makanan penuh bernutrisi.
Pada tahun 2014 lalu ulat Hong Kong mulai dikembangkan sebagai makanan modern yang diproduksi oleh perusahaan makanan Korea Selatan. ulat Hong Kong diolah menjadi topping makanan populer seperti pizza, pasta, bubur, hingga jus.
3. Chontacuro
Chontacuro merupakan ulat yang berasal dari pohon Palem Persik yang banyak ditemukan di Amazon. Sejak dulu ulat Chontacuro sudah menjadi makanan tradisional dan masuk ke dalam budaya kuliner yang turun temurun di wilayah Amazon.
Bahkan kini ulat Chontacuro yang tampilannya seperti ulat sagu dari Papua jadi buruan para turis yang berkunjung ke sana. Ulat pohon ini diolah menjadi sate yang dipanggang dengan tungku kayu sederhana.
Rasa dari ulat pohon ini sangat kenyal mirip seperti daging cumi. Kemudian bagian dalamnya terasa gurih lumer mirip seperti lemak bacon atau lelehan butter. Beberapa orang juga beranggapan bahwa rasa dari ulat Chontacuro sama seperti udang dan enak untuk dimakan.
Simak Video "Kuliner 'Murmer' di Stasiun Tebet"
(sob/odi)