Ramai di media sosial soal status kehalalan pewarna karmin yang berasal dari serangga. Begini klarifikasi LPPOM MUI.
Pewarna karmin merupakan pewarna alami yang berasal dari serangga Cochineal. Biasanya, pewarna ini digunakan untuk berbagai jenis makanan, minuman, dan kosmetika.
Namun, penggunaan pewarna tersebut heboh setelah Lembaga Bahsul Masail (LBM) NU Jawa Timur membahas hukum pewarna dari karmin yang dinyatakan najis dan menjijikkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas munculnya pendapat tersebut, Prof. KH. Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa, buka suara. Kyai Niam menghargai pembahasan dan juga hasil keputusan LBM NU Provinsi Jawa Timur terkait dengan hukum penggunaan karmin untuk pewarna makanan.
Menurutnya, hal ini bagian dari proses istijhad yang perlu dihormati. Ia mengatakan bahwa pada hakekatnya MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan.
![]() |
"Kita memiliki kesamaan perspektif khusus masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqiah," uajr Kiai Niam dalam rilis yang diterima detikcom (29/09/23).
Lebih lanjut, Kiai Niam juga menjelaskan bahwa MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detail jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut.
"Mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara LBM NU, kalau membaca hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum," terang Kiai Niam.
Pendekatan al-ihtiyath (hati-hati) dan al-khuruj min al-khilaf atau sedapat mungkin keluar dari perbedaan pandangan fuqaha. Hal ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa MUI, khususnya yang saat ini sedang dibahas berkaitan dengan hasyarat atau serangga secara umum.
"Khusus terkait dengan penggunaan Cochineal untuk pewarna makanan, MUI telah melakukan pembahasan yang sangat intensif, dilakukan beberapa kali rapat dan juga pembahasan," tutur Kiai Niam.
![]() |
Setidaknya lebih dari enam kali forum diskusi telah dilaksanakan. Di dalamnya, mereka mendengar berbagai pendapat dari para ahli di bidangnya untuk menjadikan pertimbangan penetapan hukum atau fatwa.
Salah satunya ada ahli entomologi, Dr. Dra. Dewi Sartiami, M.Si yang memberikan penjelasan mengenai anatomi Cochineal, siklus hidup, termasuk tentang pola hidup, bahaya, dan manfaat.
Selain itu, berbagai ahli juga menyebutkan bahwa dari sisi keamanan karmin telah diterima penggunaannya oleh berbagai otoritas keamanan pangan dunia.
Dari sisi sejarah penggunaannya karmin telah digunakan sejak ribuan tahun lalu oleh suku Aztec di Amerika Selatan dan terbukti aman, tidak membahayakan ('adam al-dlarar).
"Dari berbagai penjelasan ahli diperoleh kesimpulan bahwa sifat Cochineal memiliki kemiripan dengan belalang. Sementara belalang dalam konteks fiqih Islam, sekalipun masuk dalam hasyarat, tapi memiliki kekhususan tersendiri," tegas Kiai Niam, yang juga menjadi Katib Syuriyah PBNU.
Hadist Riwayat Ahmad, menyebutkan, "Dari Abdullah ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: dihalalkan bagi orang muslim dua bangkai dan dua darah; sedang dua bangkai ialah ikan dan belalang, sedang dua darah adalah hati dan limpa,"
"Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa bahwa penggunaan Cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan," pungkas Kiai Niam menutup diskusi.
(raf/adr)