Sepasang suami istri sukses bertani markisa, mereka berhasil mendapatkan uang dari hasil bertani. Kini penghasilan mereka meningkat drastis.
Pandemi Covid-19 membuat hampir seluruh sekolah beralih menjadi sistem belajar online. Hal ini membuat pasangan guru asal Kenya memilih untuk beralih menjadi petani markisa.
Karena tak perlu ke sekolah setiap hari, sepasang guru ini memilih mengisi waktu dengan bertani. Sebelumnya mereka juga bertani namun sering gagal panen karena keterbatasan waktu membuat kebunnya tidak diurus dengan baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dilansir dari Daily Nation (21/9) pasangan bernama Edwin Kiprop dan Martha Ayabei asal Kabupaten Uasin Gishu, Kenya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Mereka sibuk mencari uang tambahan dari ladang.
Pasangan suami istri ini sebenarnya sudah mulai bertani sejak 2015, saat itu mereka menanam jagung. Selama tiga tahun menanam jagung ternyata hasilnya tidak memuaskan. Dalam setahun, hasil panen mereka hanya menghasilkan $463 (Rp 6,5 juta).
"Pasar jagung juga dibanjiri calo. Lalu kami menyadari bahwa petani lain yang menanam markisa di daerah ini menghasilkan lebih banyak uang dan inilah alasan kami mencoba menanam markisa," kata Ayabei.
Di lahan seluas 2.500 meter, mereka menanam 700 pohon markisa. Namun sayangnya saat mereka menanam markisa, pohonnya diserang virus tanaman sehingga mereka gagal panen lagi.
"Karena kami tidak mengerti, kami tidak tahu bagaimana mengatasi masalah itu. Kami tidak menanam sejak saat itu karena sebagian besar petani di daerah itu terkena penyakit," jelasnya.
Tahun lalu di bulan Juli, pasangan itu pindah ke kebun lain dan menanam 400 pohon markisa. Kini mereka berhasil panen 200 kilo buah markisa setiap minggunya. Harga perkilo buah ini sekitar USD0,37-0,56 (Rp 5.200 hingga 7.900). Permintaan markisa melonjak saat bulan Ramadhan.
Markisa yang mereka panen ini dikirim ke Uganda dan Tanzania. "Ini jauh lebih baik dibandingkan dengan jagung karena kami bisa mendapatkan uang setiap minggu tidak seperti jagung yang harus menunggu selama satu tahun," tambah Ayabei.
Dia mengatakan bahwa salah satu tantangan utama yang mereka hadapi adalah serangan kutu daun pada tanaman markisa. Di kebun, mereka menyemprot tanaman setiap dua minggu sekali untuk mengendalikan hama dan penyakit.
Selama pandemi Covid-19 harga markisa turun namun tidak terlalu signifikan sehingga masih bisa mendapatkan keuntungan. Karena kebun markisanya menjanjikan, pasangan ini berencana menambah luas kebunnya agar keuntungan lebih berlipat ganda.
"Saya akan menyarankan petani lain untuk terjun ke pertanian markisa karena ada pasar yang besar dan harga yang lebih baik untuk hasil panen," pungkas Ayabei.
(dvs/dvs)