Pemiliknya, Hardi Deras, memang memiliki usaha utama di bidang periklanan. Berawal dari membuat galeri periklanan, Hardi lalu mendirikan Wedangan Lawang Djoendjing pada 2017.
"Setelah bikin galeri itu kok ramai, lalu saya bikin wedangan ini. Saat itu memang wedangan modern sedang ngetren," kata Hardi kepada detikcom di Wedangan Lawang Djoendjing, Jalan Gunung Kelud II, Kadipiro, Banjarsari, Solo.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang bekas neonbox, kandang sapi, rel kereta, usuk, akar. Ini nggak ada pasaran, karena bikin sendiri. Lantai dari bata, ada yang sisa genteng," ujarnya.
Dari luar pun, wedangan di utara Kota Solo itu tampak menarik dengan desain pintunya yang tidak sama tinggi. Nama 'Lawang Djoendjing' dalam bahasa Jawa memang diartikan sebagai pintu yang salah satunya terlihat lebih tinggi.
![]() |
"Lawang Djoendjing ini realita di masyarakat. Artinya ialah pintu menuju ke yang lebih tinggi, yaitu menuju kesuksesan," ungkapnya.
Soal makanan dan minuman, wedangan ini tak jauh berbeda dari tempat lain. Hardi memiliki andalan teh Djoendjing, jahe Djoendjing dan sate kere.
Disiapkan juga sederet makanan tradisional ala kampung, seperti tempe, bakwan, jadah, satai. Ada pula nasi yang dibungkus daun pisang.
"Makanan sama saja, hanya kami beri brand, teh Djoendjing dan juga sate kere. Harganya masih terjangkau, teh hangat Rp 3.500," tutup Hardi.
![]() |
![]() |
(bai/odi)