Selebriti Chef Ismail Ahmad mengatakan pada surat kabar Malaysia The Star bahwa jajanan kaki lima di Singapura tidak layak mendapatkan gelar dari UNESCO karena dianggap sebagai bukan budaya asli. Hal ini diungkapkan karena street food di Singapura menempati bangunan sehingga terkesan bukan makanan kaki lima.
Dikabarkan SCMP (29/9) seorang ahli konservasi budaya, Wazir Jahan Karim juga menimpali dengan anggapan Singapura harus lebih spesifik jika ingin mengklaim budaya street food sebagai miliknya. "Singapura bisa saja mengklaim, tetapi sejarah kuliner Malaysia jauh lebih kaya dan lebih autentik dibandingkan Singapura," kata Wazir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Sementara masyarakat Singapura bersikeras kalau jajanan kaki lima di negaranya ini adalah sesuatu yang unik. "Variasi dan kustomisasi yang mencolok di Singapura adalah apa yang membuat masakan khas kami menjadi unik," kata Linda Lim, manajer di School of Business Management Nanyang Polytechnic.
"Warung berjajar satu sama lain menjual berbagai jenis makanan dari kelompok budaya yang berbeda. Bahkan mie bakso sederhana bisa berbeda di warung satu dengan warung lainnya. Juga, bisnis jajanan dan resep di Singapura biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Garis keturunan ini membuatnya unik juga. "
Lim menambahkan, meskipun masakan Singapura dan Malaysia memiliki unsur multikulturalisme, budaya pedagang kaki lima Singapura lebih terstruktur dan teregulasi, mungkin karena jumlahnya yang lebih kecil dan dukungan pemerintah yang kuat. Selain itu, tidak semua hidangan yang disajikan di pusat jajanan berasal dari Malaysia - seperti yang diklaim beberapa kritikus Malaysia.
Alvin Pang, seorang penulis dan editor, mengatakan rasa makanan Singapura saat ini mencerminkan sejarah negara tersebut. Makanan yang disajikan oleh pedagang asongan, dipindahkan ke pusat-pusat gedung khusus karena alasan kebersihan pada 1970-an.
"Banyak hidangan yang kami miliki di sini, meskipun mereka mungkin memiliki dasar dalam masakan Cina, India atau Melayu, tapi semua memiliki cita rasa khas kuliner Asia Tenggara," kata Pang.
![]() |
"Sebagai contoh, nasi ayam Hainan Singapura, yang rasanya pasti berbeda dari mie Hainan, Hokkien yang tidak memiliki rasa seperti di Malaysia atau Fujian (provinsi Cina selatan di mana dialek Hokkien berasal) atau rujak, hidangan salad buah dan sayuran dalam bahasa Melayu sehari-hari. "
Pang juga mengatakan dengan membawa makanan kaki lima bersama ke pusat jajanan, kami telah menyatukan beberapa makanan terbaik di bawah satu atap. "Pusat makanan Maxwell dan East Coast sendiri merupakan tempat berburu pengalaman bersantap di Singapura yang berbeda dan pastinya lebih berkesan daripada restoran mana pun. "
Jack Tsen-Ta Lee, presiden Singapore Heritage Society, mengatakan: "Saya bisa melihat mengapa papedagang kaki lima dipilih sebagai nominasi(Unesco) pertama di Singapura, karena ini adalah sesuatu yang melibatkan semua komunitas. Nominasi lainnya, seperti budaya Eurasian dan Peranakan, tidak eksklusif untuk Singapura. "
Budaya jajanan kaki lima di Singapura juga terus berkembang seiring selera lokal yang berubah menjadi semakin canggih. Di banyak pusat jajanan hari ini, Anda dapat menemukan beberapa menu fusion baru yang mempertahankan cita rasa lama tetapi menampilkan teknik dan tampilan makanan baru.
Penduduk Singapura, sebagai populasi yang terus berevolusi, biasanya menerima perkembangan kuliner ini. Hidangan tradisional dapat diberikan sentuhan modern. Misalnya, ada kue wortel dengan keju, burger nasi dengan sate dan mie ayam dengan bumbu truffle oil.
![]() |
Koki selebriti Ismail Ahmad, mengatakan budaya jajanan pasar Singapura tidak memiliki keaslian. Keaslian itu sifatnya subyektif, kata Dextre Teh, konsultan dan pemasar makanan dan minuman. Dia mengatakan sulit untuk membantah satu hidangan tentu lebih asli daripada yang lain.
"Saya tidak percaya bahwa ada sesuatu yang autentik atau asli dari budaya atau negara. Mungkin Anda bisa mengatakan itu sebagai olahan tradisional." katanya. Teh merasa sulit untuk memikirkan satu hidangan jajanan yang dapat digambarkan sebagai makanan perwakilan khas Singapura.
"Chilli crab atau kepiting cabe adalah salah satu ikon nasional, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini chilli crab telah menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman. Dalam kata lain, makanan ini masih populer tetapi perlahan-lahan kehilangan cita rasa tradisionalnya."
Daniel Vrenner, manajer operasi di sebuah perusahaan pelayaran mengatakan budaya pedagang di Singapura mengingatkannya pada negara asalnya, Meksiko. "Mercados (pasar) kami sangat mirip dengan pusat jajanan Singapura. Di pusat-pusat jajanan Singapura, saya suka bahwa Anda bisa mendapatkan potongan buah dan jus seperti di Meksiko. Jagung dalam cangkir yang dijual di Singapura juga sangat mirip dengan tamale di negara kami. "
Baca juga : Gerai Chicken Rice Berbintang Michelin di Singapura Kini Merambah ke Melbourne
Lain lagi bagi ekspatriat Vietnam, Huy Pham, seorang profesional pemasaran di awal teknologi, ia membandingkan makanan kaki lima yang ditemukan di negaranya dengan yang di Singapura. Di Vietnam makanan ini terkenal karena memiliki unsur-unsur hijau seperti sayuran.
"Saya pikir masakan Singapura dapat belajar dari Vietnam untuk tidak terlalu bergantung pada minyak atau cabe sebagai penambah rasa," katanya.
![]() |
Penulis dan blogger yang tinggal di New York, Erik Trinidad, telah mengunjungi Singapura berkali-kali dan menemukan budaya makanan sebagai cara terbaik untuk mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang. Dia menggambarkan pengalaman khas Singapura: "Di Geylang, pemuda Singapura berkumpul di meja di luar stan durian untuk bersosialisasi, menonton orang atau hanya duduk sambil makan buah."
Saya bisa membayangkan bahwa ini adalah kegiatan penjaja makanan malam hari dan terlihat seperti inilah gaya kulineran orang-orang sejak beberapa dekade yang lalu. Tentunya tanpa musik, cahaya dan gadget secanggih saat ini.
(adr/odi)