Dua kerajaan yaitu Kerajaan Luwuk dan Kerajaan Sindenreng bersitegang memperebutkan biji emas hitam di Tana Toraja. Karena kopi, kedua kerajaan ini pun saling serang.
Baca Juga: Di Keboen Kopi Ini Bisa Jalan-jalan ke Kebun Kopi hingga Ngopi Enak
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Ada hubungan perkawinan kerajaan Luwu dan Bone. Dan biasanya perkawinan ini sudah menyangkut upeti, termasuk kopi di dalamnya," kata Sulaeman.
Karena perkawinan oleh dua anggota kerajaan, maka kerajaan Luwu meminta bantuan bala tentara untuk kembali menyerbu kerajaan Sindereng. Permintaan itu disanggupi pihak Bone dengan mengirimkan pasukan Passongko Barong (pasukan topi merah) di akhir tahun 1800.
![]() |
Selain perang klasik itu, perang terkait kopi juga muncul di era Pongtiku di awal tahun 1900. Pongtiku adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia dan berasal dari Tana Toraja. Dia disebut memanfaatkan besarnya harga kopi untuk melakukan barter senjata untuk melawan pemerintah Hinda Belanda. Dia disebut dapat bertahan karena menguasai jalur perdagangan kopi.
Ashabul Kahpi dari Imagined Historia Makassar mengatakan budidaya kopi mulai diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 lewat program Cultuurstelsel.
Penyebaran budidaya kopi pada masa Hindia-Belanda dibagi dalam beberapa distrik dan berfokus pada wilayah-wilayah dataran tinggi dengan jumlah tanaman sekitar 33 juta pohon kopi. Distrik Utara di wilayah Kabupaten Bantaeng, Distrik Selatan yaitu Bulukumba dan Sinjai, serta Distrik Timur di wilayah Kepulauan Selayar.
![]() |
Pada abad-19, kopi di Sulsel disebut menjadi salah satu ekspor tersebesar Hindia Belanda dan melebihi produksi beras.
"Hingga tahun 1872, pohon kopi yang ditanam di Sulsel mencaoai sekitar 33 juta pohon," ucapnya.
Baca Juga: Sudah Ada Sejak 1927, Ini Es Kopi Susu Legendaris di Jakarta! (sob/adr)