Pada malam 8 November 2011, Cory Terry (33) bermain bola basket di gedung olahraga Stephen Decatur Middle School, Amerika Serikat. Setelah 45 menit, ia meminum sekaleng Red Bull. Kemudian, ia merasa pusing dan ambruk. Pria dengan satu anak usia 13 tahun inipun dinyatakan meninggal dunia.
Penyebab kematiannya adalah idiopathic dilated cardiomyopathy (DCM) atau terhentinya denyut jantung Cory. Penyebab DCM banyak, di antaranya penyakit, keturunan, atau kecanduan minuman beralkohol.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Patricia, Cory tak merokok, aktif, dan sehat. Namun, pria yang bekerja sebagai buruh bangunan ini juga peminum berat Red Bull. "Ia meneguk minuman tersebut sepanjang waktu. Katanya, ia jadi bersemangat," kenang Patricia.
Senin (28/10/13), Patricia melayangkan tuntutan hukum sebesar $85 juta (Rp 943,7 miliar) kepada Red Bull. Menurut pengacara, Ilya Novofastovsky, minuman berenergi tersebut mengandung stimulan ekstra yang membedakannya dari kopi.
“Lebih berbahaya dari yang diberitahukan Red Bull (kepada masyarakat),” ujar Novofastovsky. Menurut NY Daily News (28/10/13), inilah tuntutan pertama atas kematian seseorang yang dihadapi merek minuman berenergi terkemuka tersebut.
Red Bull menolak berkomentar, namun juru bicara perusahaan mengatakan bahwa lembaga kesehatan di seluruh dunia telah menyimpulkan bahwa Red Bull Energy Drink aman dikonsumsi. Jika tidak, minuman ini tak akan terjual sebanyak 35 miliar kaleng di 165 negara selama 25 tahun terakhir.
Sebelumnya Patricia melayangkan tuntutan kepada pemerintah kota. Ia mengeluhkan tidak tersedianya defibrillator atau alat lain untuk menyelamatkan nyawa di gymnasium sekolah. Selain itu, perlu waktu 40 menit sampai ambulans tiba. Namun, kasus ini tertunda dan pemerintah kota menolak berkomentar.
Pengaduan Patricia menyebutkan bahwa ada sembilan kasus kematian di seluruh dunia terkait Red Bull. Selain itu, studi ilmiah juga menyebutkan bahwa minuman tersebut berpotensi berbahaya bagi kesehatan, terutama bagi remaja dan mereka yang berolahraga.
Di antara tahun 2004 dan 2012, Badan Pangan dan Obat-obatan (FDA) Amerika Serikat menerima 21 laporan dari dokter atau rumah sakit yang menghubungkan Red Bull dengan berbagai gejala. Beberapa di antaranya adalah kelelahan, pusing, nyeri dada, dll.
Dr. Daniel Fabricant, direktur Division of Dietary Supplement Programs di FDA, mengatakan bahwa lembaganya masih meneliti efek minuman berkafein. “Jika kami menemukan bahaya bagi konsumen, kami pasti akan bertindak,” ujarnya.
Menurut Novofastovsky, tuntutan hukum ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi risiko minuman stimulan. “Kami mencoba mengambil hikmah dari kematian ini. Kami mencoba memastikan bahwa kami bisa mencegah hal serupa terulang kembali,” pungkasnya.
(dni/odi)