Harga pangan yang terus melambung rupanya tak jadi masalah bagi Thaler. Pria 22 tahun ini tak segan memungut makanan, bunga, atau produk lain yang masih bisa digunakan dari tempat sampah supermarket. Ia kemudian memasaknya menjadi hidangan untuk dimakan sendiri, bersama teman, atau untuk komunitas setempat.
Thaler yang berasal dari Sommerville, Massachusetts, Amerika Serikat, adalah seorang freegan. Artinya, ia mengadopsi gaya hidup antikonsumerisme, menentang materialisme, konformitas, dan keserakahan. Iapun berusaha mengonsumsi sedikit serta membuang sedikit pula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di tempat sampah, Anda bisa menemukan apapun yang dipajang di rak supermarket. Sayuran organik, buah, jus, telur, susu, yogurt... Semuanya," tutur Thaler kepada Daily Mail (22/08/13).
Thaler mulai menjadi freegan sejak kuliah, sekitar empat tahun lalu. Saat itu ada sekelompok freegan yang rutin berkumpul di supermarket sekitar. Namun, baru sejak musim panas lalu ia memperoleh seluruh makanannya dari tempat sampah.
Menurut Thaler, banyak makanan yang dibuang hanya karena kemasannya yang tak sempurna. Misalnya, tak ada yang mau membeli makanan yang kemasannya robek, jadi makanan tersebut dibuang. Adapula sekotak telur yang dibuang karena salah satu telurnya pecah, padahal 11 telur lagi baik-baik saja.
Menurut Thaler, swalayan juga sengaja membeli lebih dari yang bisa mereka jual, sehingga rak-raknya tampak penuh. Padahal, kelebihan makananpun akan berakhir di tempat sampah. Selain itu, tanggal kedaluwarsa juga sering menyebabkan makanan yang masih enak dibuang.
"Katanya kedaluwarsa, padahal tak ada aturan hukum terkait tanggal kedaluwarsa. Makanan juga masih baik dimakan setelah tanggal tersebut," ujar Thaler. Iapun menyarankan kita tak berbelanja di swalayan. Lebih baik membeli dalam jumlah banyak dari distributor lokal atau pasar tradisional.
Selain Thaler dan teman-temannya di Massachusetts, kelompok freegan juga terdapat di New York. Sebulan sekali mereka mengadakan tur tempat sampah untuk mencari makanan gratis.
"Tur ini sangat populer. Banyak pendatang baru yang syok melihat jumlah sampah dan kini menyadari apa yang bisa mereka selamatkan dari tempat sampah supermarket," tutur penyelenggara kegiatan, Janet Kalish, yang telah mempraktikkan freeganisme selama sekitar dua dekade.
Sebulan sekali Kalish mengundang peserta baru untuk mengikuti tur tempat sampah. Iapun mengundang mereka makan keesokan harinya dengan makanan yang mereka selamatkan. "Tak ada alasan makanan ini dibuang. Makanan tersebut sebaik 20 menit lalu ketika masih di supermarket," kata Kalish.
Menurut Kalish, banyak profesional muda yang sadar lingkungan dan politik bergabung menjadi freegan. Namun banyak pula yang menjadi freegan tak sanggup menanggung mahalnya biaya pangan di New York City.
(fit/odi)