MUI sudah membahas hal ini sejak lama lewat Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Budi Daya Cacing dan Jangkrik. Kedua binatang ini jadi fokus karena banyak dijadikan pakan hewan dan makanan manusia maupun digunakan dalam obat, jamu, dan kosmetik.
Dalam membuat keputusan, MUI mencari dasar dari Alquran. Salah satunya adalah QS Al-Jasiyah ayat 13 yang berbunyi "Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kaidah fikihpun menyebutkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah/halal. Selain itu, MUI juga memperhatikan pandangan ahli budi daya cacing dan jangkrik serta makalah 'Budi Daya Cacing dan Jangkrik dalam Kajian Fikih' yang dipresentasikan Dr. KH. Ahmad Munif pada sidang Komisi Fatwa MUI, 18 April 2000.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, MUI menetapkan fatwa tentang makan dan budi daya cacing dan jangkrik. MUI membenarkan pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Al-Auzi) yang menghalalkan memakan cacing selama bermanfaat dan tidak membahayakan.
Membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya namun tidak untuk dimakan juga dinilai tidak bertentangan dengan hukum Islam. Begitu pula dengan membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, tidak untuk dimakan manusia maupun dijual, seperti untuk pakan burung.
Bagaimana dengan jangkrik? Hewan sejenis belalang ini juga boleh dibudidayakan untuk diambil manfaatnya, dimakan, atau dijual sepanjang tidak menimbulkan bahaya.
Sebelumnya, MUI juga telah menyatakan bahwa konsumsi pewarna makanan dari serangga cochineal, bahan pengilap makanan berbahan serangga shellac, serta laron hukumnya mubah (boleh) atau halal.
(fit/odi)