Membicarakan masakan China peranakan di Indonesia begitu luas. Sejarawan kuliner, Wira Hardiyansyah, mengungkap jejak masakan peranakan di Indonesia jumlahnya tak terbatas.
Sebelum membahas masakan peranakan, definisi "peranakan" sendiri perlu diperjelas karena menunjukkan identitas asal masakan tersebut. Wira menjelaskan kalau "peranakan" merujuk pada istilah untuk keturunan dari orang China asli yang menikah dengan orang Melayu seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
"Peranakan itu sebenarnya kan bapaknya orang China, ibunya orang pribumi atau sebaliknya. Jadi zaman dulu itu, untuk pulang ke negaranya ketika berdagang itu, (orang China) menunggu cuaca yang tepat terkait laut, angin, dan sebagainya. Selama menunggu itu, akhirnya (orang China) berinteraksi dengan budaya-budaya lokal. Nah, hasil dari interaksi itu yang melahirkan asimilasi budaya," ujarnya kepada detikfood (17/1).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk jejak peranakan di Indonesia sendiri menurut Wira sudah ada sebelum tahun 131 Masehi. "Peranakan itu sudah lama. Indonesia saja ada sudah ditulis dalam dinasti Han tahun 131 M. Saat itu tertulis (China) menyerbu kepulauan Jawadwipa. Ada dua pulau yang dicatat Swarnadwipa (Sumatera) dan Jawadwipa (Jawa)," ujarnya.
"Artinya, kalau catatannya 131 M, berarti kemungkinan besar (suku Melayu) sudah berinteraksi dengan etnis Tionghoa sebelum tahun 131 M. Berinteraksi lewat perdagangan," kata Wira menambahkan.
Jejak masakan peranakan di Indonesia
![]() |
Membicarakan masakan peranakan yang terkenal di Indonesia, Wira mengatakan sangat luas dan tak terbatas. "Yang sering kita lihat (masakan peranakan) baru 15%. Bisa dibilang yang sadar dan tidak sadar, bahkan menjadi signature menu sebuah kota.
"Seperti halnya bakpia, bak itu dari bahasa Tionghoa dan pia juga, tapi menu ini jadi signature Jogja," kata Wira memberikan contoh.
Ia juga mengatakan, dari Sabang sampai Merauke, hampir semuanya memiliki peninggalan jejak masakan peranakan. "Kayak kecap, bihun, mie, soun, hingga bakso. Karena kuliner peranakan ada darah lokal dan Tionghoa. Seperti soto juga. Hampir 75% wilayah Indonesia punya soto," ungkapnya.
Ciri khas masakan peranakan dibanding masakan China 'totok'
![]() |
Selain masakan peranakan, jejak kuliner Tionghoa di Indonesia juga termasuk masakan China 'totok' alias yang masih kental pengaruh budaya China-nya. "Kuliner Tionghoa ada 2, kuliner peranakan dan kuliner totok," kata Wira mengawali cerita.
Ia mengatakan ada perbedaan mendasar antara keduanya. Pertama, soal penamaan. "Kuliner China peranakan bahkan namanya sudah umum pakai bahasa Indonesia seperti lumpia, bakpia. Kalau China totok itu masih pakai bahasa China yang kental juga, misalnya choi pan," ujar pria ramah ini.
Kedua, dari segi bumbu dan cita rasa. Pada kuliner China 'totok' masih terasa bahan asli makanan tersebut. "Umpama kita masak capcay, setiap unsur sayurnya kan masih terasa," kata Wira.
Beda cerita dengan masakan peranakan yang bumbunya lebih terasa atau medok. "Misalnya lontong cap go meh, ada opor, sayur labu siam (yang kuat bumbunya). Lalu ada pindang bandeng yang bumbunya juga kuat. Rasa ikannya mungkin hanya 25%." kata Wira.
Pada masakan peranakan juga umumnya dibuat dari bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal orang peranakan. "Kayak kalau di Singkawang pakai ikan dewa untuk Imlek. Harganya sangat mahal. Sementara orang Sunda lebih dulu mengonsumsi bandeng, makanya lebih jamak pakai bandeng (untuk sajian Imlek)," ujar Wira.
Masakan peranakan lebih mudah diterima di Indonesia. Baca penjelasan Wira di halaman selanjutnya.
Masakan peranakan lebih mudah diterima dari pada masakan China 'totok'
![]() |
Perkembangan masakan China 'totok' dan peranakan terlihat seiring waktu. Hasilnya, masakan peranakan lebih mudah diterima oleh orang Indonesia karena pasarnya lebih luas.
"Kalau dari faktor ekonomi, kuliner China peranakan semua etnis bisa makan termasuk muslim, lebih oke. Kalau kuliner China totok belum tentu bisa dimakan semua. Jadi lebih menguntungkan dari segi ekonomi sehingga lahirlah asimilasi budaya terkait makanan tersebut," ujar Wira.
Ia mencontohkan kecap yang awalnya berupa kecap asin dari China. "Tapi orang Nusantara pada saat itu telah mengenal gula Jawa sebagai unsur manisnya. Jadi kecapnya dibuat manis karena kalau tetap dibuat asin, faktor ekonominya nggak main, beda budaya kan. Mau nggak mau ada asimilasi budaya," kata Wira.
Kue peranakan juga digemari untuk Imlek
![]() |
Tak hanya makanan utama, masakan peranakan juga termasuk ragam kuenya yang menggugah selera. "Nama 'kue' saja sudah istilah peranakan," kaat Wira.
Ia mengambil contoh kue ku, kue peranakan yang populer sebagai suguhan Imlek. "Penulisan nama 'kue' itu sebenarnya 'kwe' diambil dari bahasa Tionghoa. Tapi orang Jawa lafaznya itu kayak 'ku' padahal harusnya 'kwe'. Jadinya ketika menyebut 'kwe kwe', mereka menjadi seperti 'kue ku'," kata Wira.
Kue ku melambangkan berbagai hal baik sehingga kerap dimakan oleh orang China saat imlek. "Warna merahnya kan perlambang kegembiraan. Warna kuning dari kacang ijonya itu mendekati emas, artinya kemakmuran. Bentuknya itu bentuk kura-kura itu artinya panjang umur. Makanya kue ku jadi salah satu yang wajib saat Imlek," tutup Wira.
Simak Video "Kelezatan Aneka Sajian Imlek, Ada Poon Choi hingga Bebek Panggang"
[Gambas:Video 20detik]
(adr/odi)