Barongko adalah makanan khas Bugis-Makassar yang tercatat sebagai warisan budaya tak benda. Di balik kenikmatannya, barongko memiliki filosofi luhur soal harga diri dan kejujuran. Begini penjelasannya.
Barongko sekilas terlihat seperti kue nagasari khas Jawa karena dibalut daun pisang. Bedanya, pisang pada barongko bukan sebagai isian, melainkan campuran adonan.
Bahan utamanya pisang kepok atau dalam bahasa Makassar disebut "utti manurung". Pisang kemudian dicampur santan, gula, dan telur. Bahan ini dihaluskan lalu dibungkus daun pisang dengan bentuk menyerupai segitiga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barongko dimasak dengan cara dikukus. Hasilnya, kue ini memiliki tekstur super lembut dan juicy. Rasa manisnya juga enak dan menyegarkan, apalagi jika disajikan dingin.
Umumnya kudapan khas Bugis-Makassar ini disajikan pada acara-acara adat dan keagamaan seperti pernikahan, aqiqah atau bulan Ramadhan. Namun bagi wisatawan yang berkunjung ke sulawesi selatan, bisa dengan mudah mendapati kue ini di perjual kue tradisional yang ada.
Baca Juga: Resep Barongko Pisang yang Legit Khas Makassar Buat Teman Ngopi
Barongko bahkan telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan pada tahun 2017 dengan nomor SK 60128/MPK.E/KB/2017. Ini bertujuan untuk menjaga identitas barongko dan menghindari agar tidak diklaim oleh negara lain.
Sebagai warisan budaya, barongko menyimpan cerita dan nilai-nilai filosofis yang dalam bagi masyarakat Bugis-Makassar. Berikut ulasan mengenai kue Barongko yang dihimpun oleh detikSulsel.
Asal-usul Barongko
![]() |
Melansir laman website Indonesia.go.id (Portal Informasi Indonesia), disebutkan bahwa barongko dulunya adalah makanan yang istimewa. Kue ini hanya disajikan bagi kaum bangsawan dari kerajaan-kerajaan Bugis.
Kudapan ini disajikan pada waktu-waktu tertentu seperti pesta pernikahan, keagamaan atau upacara adat. Oleh raja-raja bugis, kue barongko biasanya dijadikan sebagai hidangan penutup.
Namun seiring perkembangan waktu, kue barongko menjadi kian populer di kalangan masyarakat Bugis. Masyarakat pun bisa membuat dan menikmati hidangan ini kapan pun mereka mau.
Meski begitu, pembuatan barongko tetap diutamakan dan tidak bisa sembarangan. Orang-orang yang membuat barongko haruslah mereka yang sudah berpengalaman demi menjaga cita rasa barongko yang khas.
Baca Juga: 10 Kue Khas Makassar Wajib Dicoba, Jalangkote hingga Taripang
Filosofi Barongko
![]() |
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, kue Barongko memiliki makna filosofis yang tinggi. Karena itu, barongko selalu dijadikan salah satu hidangan utama di setiap acara untuk menjamu tamu-tamu kehormatan.
Kue barongko yang terbuat dari pisang, kemudian dibungkus juga menggunakan daun pisang adalah perlambang dari nilai budaya dan prinsip hidup yang agung.
Melansir laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, kata Barongko adalah singkatan dari "barangku mua udoko". Artinya, barangku sendiri yang kubungkus.
Ini melambangkan nilai "siri" (harga diri) yang tinggi bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi membungkus dan menjaga harga diri merupakan aplikasi dari budaya "siri" untuk menjaga harkat dan martabat.
Selain itu, bahan pisang yang dibungkus dengan daun pisang juga melambangkan makna kejujuran, yakni apa yang tampak dari luar sama dengan yang ada di dalam. Ini melambangkan antara hati, pikiran dan tindakan haruslah selaras.
Sementara dalam hubungan perkawinan atau rumah tangga, hal ini juga menjadi landasan awal untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Kedua mempelai akan harmonis, jika keduanya memiliki hati dan perilaku yang sama baiknya.
Keistimewaan barongko bisa dinikmati dengan cara membuat sendiri kue khas Makassar ini. Kamu bisa mengintip resepnya di artikel INI.
Baca Juga: Barongko Masuk Warisan Budaya Tak Benda, Ini Filosofinya di Bugis-Makassar
(adr/adr)