Petani Cokelat Milenial Jadi Harapan Untuk Pengembangan Cokelat Indonesia

Petani Cokelat Milenial Jadi Harapan Untuk Pengembangan Cokelat Indonesia

Andi Annisa Dwi Rahmawati - detikFood
Senin, 16 Agu 2021 11:30 WIB
Kakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao Fermentasi
Foto: Getty Images/iStockphoto/sirichai_asawalapsakul
Jakarta -

Perkebunan cokelat di Indonesia punya banyak tantangan, namun bukan berarti tidak ada harapan. Kemunculan petani milenial hingga ekspor biji kakao diharapkan semakin gencar.

Webinar Krista dan Dewan Kakao Indonesia (11/8) membahas tuntas soal perkebunan cokelat di Indonesia kini. Sejumlah narasumber dari berbagai bidang terkait cokelat hadir memberikan paparan.

Dwi Atmoko Setiono, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia menjelaskan industri cokelat di Indonesia sedang menuju perubahan ke arah industri 4.0. Diharapkan para pelaku di dalamnya menggunakan internet sebagai penopang utama dalam proses produksi kakao.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menyebut industri kakao punya prospek besar, apalagi Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara terbesar penghasil kakao di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Hanya saja diakui Dwi dan narasumber lain, ada banyak tantangan yang dihadapi industri cokelat Indonesia saat ini. Apa saja tantangan tersebut?

ADVERTISEMENT

1. Kondisi perkebunan biji cokelat yang rusak

Kakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao FermentasiKakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao Fermentasi Foto: Getty Images/iStockphoto/sirichai_asawalapsakul

Produktivitas biji cokelat yang rendah menjadi tantangan besar saat ini. Endy Pranoto dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia menjelaskan hal ini dipengaruhi banyak hal.

Salah satunya tanaman cokelat banyak yang tua, rusak, dan tidak produktif. Jumlahnya bahkan mencapai 31%. Faktor lainnya seperti pemeliharaan kebun biji cokelat yang kurang intensif, sarana yang kurang memadai, kurangnya inovasi teknologi, hingga kelembagaan petani yang lemah.

Arif Zamroni, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia juga menjelaskan terjadi banyak alih fungsi lahan perkebunan kakao. Di Jawa Timur, misalnya, lahan kakao menjadi tanaman tebu. "Di luar Jawa, alih fungsi jadi kelapa sawit. Di beberapa tempat juga ada yang alih fungsi ke sengon," katanya.

Arif pun menyoroti permasalahan kebun biji cokelat yang mayoritas tidak terurus. "Banyak yang kering, tanaman penuh hama, serangan hewan seperti tupai dan kera," ujarnya. Semua hal ini berdampak pada produktivitas kakao yang rendah.

2. Petani biji cokelat banyak yang sudah tua

Kakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao FermentasiKakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao Fermentasi Foto: Getty Images/iStockphoto/sirichai_asawalapsakul

Tantangan lain dari industri kakao Indonesia saat ini adalah usia para petani yang sudah tua. Dwi mengatakan, "Usia petani rata-rata lebih dari 40 tahun."

Diakui Arif, mayoritas petani biji cokelat di Indonesia juga masih sangat konvensional. "Petani lebih banyak jadi objek, tanpa memiliki posisi bargaining yang cukup kuat," ujarnya.

Karena Sumber Daya Manusia (SDM) petani biji cokelat yang sudah tua, mereka cenderung gagap teknologi. Sebagian besar petani kakao bahkan tidak tahu pengembangan lebih lanjut dari biji cokelat. Hal ini disampaikan Agung Wahyu Susilo selaku Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka).

3. Harga biji cokelat sangat rendah

Kakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao FermentasiKakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao Fermentasi Foto: Getty Images/iStockphoto/sirichai_asawalapsakul

Produktivitas biji cokelat yang rendah di Indonesia juga disebabkan karena para petani biji cokelat tidak bergairah dalam memproduksinya. Salah satunya disebabkan harga biji cokelat yang sangat rendah.

Arif menyebut harga biji cokelat begitu rendah di petani. "Sebabnya banyak, karena mata rantai (penjualan) yang panjang, bisa karena petani hanya tahu harga tengkulak atau ketika harga memang lagi turun," ujarnya.

Sebagai solusi, Arif menyarankan agar menolong harga di kalangan petani kakao. "Bagaimana harga di tingkat petani itu harga optimal. Jangan serahkan harga di petani pada banyak rantai dan tengkulak," ujarnya.

Endy menyebut para petani biji cokelat juga kurang tertarik meningkatkan nilai kakao itu sendiri. Mereka cenderung enggan melakukan fermentasi, padahal proses ini bisa memberi nilai tambah pada penjualan biji cokelat.

"Petani masih jarang yang mau fermentasi kakao karena selisih harganya tidak jauh dari penjualan kakao biasa. Tidak sebanding dengan effortnya," kata Endy.

4. Upaya mendorong petani milenial

Kakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao FermentasiKakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao Fermentasi Foto: Getty Images/iStockphoto/sirichai_asawalapsakul

Guna menghadapi tantangan ini, para pelaku industri kakao di Indonesia berharap ada lebih banyak petani milenial. Kehadiran petani muda ini diharapkan bisa membawa 'angin segar' untuk industri biji cokelat di Indonesia.

Dwi menjelaskan, "Petani kakao Indonesia punya potensi besar. (Bersama-sama kita) harus menjadikan petani yang maju, mandiri, dan modern. Berjiwa inovatif dan milenial."

Endy menyebut petani milenial berusia 19-39 tahun. Mereka harus memiliki jiwa milenial dan tanggap teknologi digital.

Dari Kementerian Pertanian, ada beberapa program untuk mencetak para petani milenial. "Salah satu upayanya adalah mengembangkan Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). Menyiapkan juga bantuan modal untuk mahasiswa Polbangtan yang tertarik jadi agropreneur. Ada juga bimbingan teknis dan pendampingan," ujarnya.

Turut hadir dalam webinar, I Ketut Wiadnyana selaku Ketua Koperasi Kakao Kerta Semaya Samania (KSS), Jembrana, Bali. Pihaknya mengaku sangat mendorong kemunculan para petani kakao muda dan petani perempuan di Jembrana.

5. Prospek biji kakao fermentasi di Indonesia

Kakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao FermentasiKakao di Indonesia, Peran Petani Milenial hingga Ekspor Biji Kakao Fermentasi Foto: Getty Images/iStockphoto/sirichai_asawalapsakul

Memberi nilai tambah produk kakao Indonesia dengan melakukan proses fermentasi disebut Agung Widiastuti selaku Direktur Yayasan Kalimajari begitu efektif. Ia memulainya tahun 2011 dan menurut Widia proses ini memang tidak mudah.

Saat ini pihaknya sudah berhasil mengekspor biji cokelat fermentasi Indonesia ke berbagai negara. Bahkan biji cokelat ini diolah lebih lanjut sebagai produk cokelat berkualitas di Hong Kong, Swedia, Swiss, Italia, Belgia, Prancis, hingga Belanda.

Menurut Widia, proses fermentasi bisa 'mengeluarkan' keunikan cita rasa kakao di Indonesia. "Kakao dari Nusa Tenggara Timur, misalnya, punya rasa 'nutty' (kacang) yang kuat, Jembrana punya rasa mirip madu, dan Aceh ada cecapan rempahnya," kata Widia.

Ia pun menyusun Archipelago Cocoa Indonesia sebagai 'hadiah' ulang tahun kemerdekaan Indonesia tahun ini. Widia memanfaatkan Cocoa Sensory Wheel untuk membantu para petani mengetahui lebih dalam karakteristik produk biji cokelat mereka. Mulai dari tampilan, aroma, tekstur, dan rasa kakao itu sendiri.

"Atas support dari Rainforest Alliance dan kolaborasi dengan ICCRI, kami mengumpulkan 34 sample biji kakao fermentasi dari Aceh sampai NTT, untuk dilakukan uji cita rasa dan uji kualitasnya. Hasil uji kami kembalikan kepada masing-masing petani pemilik sample. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk menemukan berbagai keunikan cita rasa dari biji kakao di Indonesia," tutur Widya.

Halaman 2 dari 3
(adr/odi)

Hide Ads