Pipiltin Cocoa Factory & Cafe membuktikan hal ini. Berbeda dengan kafe atau chocolate shop lain, Pipiltin menerapkan konsep 'bean to bar'. Biji cokelat yang diperoleh dari Aceh dan Bali diproses sendiri oleh Pipiltin.
Pemanggangan, winnowing, penggilingan, pemurnian, pencampuran, conching, sampai tempering cokelat dikerjakan di lantai dasar Pipiltin. Proses yang melibatkan macam-macam mesin inipun dapat Anda lihat dari balik jendela kaca besar. Persis seperti pabrik cokelat dalam bentuk mini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di lantai atas, barulah meja dan bangku kayu serta sofa-sofa tampak. Kesan 'gelap' terlihat dari pemilihan warna abu-abu, cokelat, dan hitam di ruangan ini, ditambah dengan penerangan yang agak redup dan desain alami bergaya Aztec.
Lantai mezanin memuat ruang untuk merokok, sementara lantai tiga diperuntukkan sebagai tempat meeting atau acara-acara lain. Masih di lantai dua, cokelat yang sudah diolah di lantai satu dikreasikan menjadi aneka makanan dan minuman. Adapula lemari pendingin untuk memajang aneka cake cokelat menggoda. Hmm...
Daftar menunya menampilkan menu-menu a la Barat dengan nama dan deskripsi berbahasa Inggris. Atas anjuran Tissa Aunilla, pemilik Pipiltin, kamipun mencoba Egg No (Rp 41.000) dan Ebony Ivory (Rp 41.000).
Saya terkejut saat Egg No disajikan. Tampilannya sungguh seperti sajian molecular gastronomy! Bagian tengah yang putih berbentuk setengah bola tampak seperti poached egg. Di sekelilingnya diletakkan butiran cokelat seperti tanah. Busa membumbung di belakang 'putih telur', sementara bola-bola kuning dan 'telur katak' memberi sentuhan warna cerah. Semuanya ditata cantik di atas piring bundar besar berwarna abu-abu gelap.
Olala... Saat dipecahkan dengan sendok, barulah ketahuan bahwa 'putih telur' tersebut adalah white chocolate panna cotta. Di dalamnya terdapat 'kuning telur setengah matang' yang ternyata campuran jelly mangga dan markisa, sama seperti bola-bola kuning yang bertebaran di piring.
Tekstur lembut dan rasa sedikit asam dikombinasikan dengan 'tanah' yang terbuat dari remah biskuit cokelat dan chilli. Krenyes dengan pedas yang lamat-lamat berpadu dengan kesegaran selasih si 'telur katak'. Nah, 'busa' yang tadi saya maksud rupanya gulali yang segera mengempis setelah dirobek dengan sendok. Nyam, nyam... Penuh sensasi di lidah!
Ebony Ivory tak kalah molekular. Sekilas terlihat seperti wadah lilin aromaterapi atau fish bowl dengan tutup kaca kerucut. Wow, saat tutupnya dibuka, asap membumbung disertai aroma asap! Ternyata, asap dan aroma smoky ini berasal dari bubuk hickory.
Di balik lempeng white chocolate berlubang-lubang tersimpan potongan dadu black cherry brownies yang berendam di sirup gelap. Brownies beserta sirupnya disendok bersama mousse vanila yang diletakkan di tutup kaca kerucut.
Hmm... Asam manis khas black cherry berpadu dengan mousse yang creamy. Aroma smoky yang kuat di dessert inipun menjadikannya acquired taste yang memecah pencicipnya ke dalam dua kubu ekstrim: pecinta dan pembenci.
Setelah mencoba menu-menu spektakuler, kami ingin mengeksplorasi citarasa cokelat lokal dengan memesan comfort food seperti churros (Rp 50.000) dan cake. Churros digoreng hingga kuning keemasan, lalu ditaburi gula pasir halus dan bubuk kayumanis. Kriuk-kriuk, manis dan menebar aroma wangi.
Dua saus pelengkapnya tak boleh dilewatkan. Saus cokelatnya mengandung 68% kakao dan berasal dari Bali. Saat dicicip, rasa asam fruity muncul, berkarakteristik mirip kopi asal Pulau Dewata. Satu lagi adalah selai stroberi rumahan yang segar. Manisnya tak menggigit dengan asam yang terdeteksi halus.
Crunchy Chocolate Cheese Cake (Rp 20.000) dan Crunchy Raspberry Cake (Rp 20.000) tampil simpel dan agak mungil. Lapisan dark chocolate pada cheesecake yang berbentuk silindris menyembunyikan cake lembut asin di dalamnya. Kami menemukan lapisan remah renyah yang terbuat dari biskuit di antara cheesecake. Kerenyahan yang sama juga kami jumpai pada cake raspberry yang beraroma berry segar.
Seakan belum puas melahap seluruh dessert cokelat yang kami pesan, saya memesan Iced Chocolate (Rp 33.000). Tanpa gula cair yang disajikan terpisah, minuman ini terasa pekat dengan sedikit rasa pahit. Inilah ciri khas Pipiltin, kadar cokelatnya tinggi tanpa jejak gula.
Sementara itu, teman saya memesan Iced Tea Fruit Paradise (Rp 25.000) untuk menetralisir indera perasa yang dipenuhi cokelat sedari tadi. Es teh beraroma buah menyegarkan ini juga produk lokal. Tepatnya dikirimkan oleh Dharma Tea dari Bali.
Dua jempol untuk Executive Chef Dedy Sutan yang sukses mengolah cokelat lokal menjadi hidangan berkelas! Sayapun mengangkat topi untuk kakak beradik Tissa dan Irvan Helmi (salah satu pemilik Anomali Coffee) yang berupaya menaikkan derajat cokelat dan teh lokal dengan mendirikan Pipiltin.
Oh iya, sebelum lupa, sayapun menanyakan asal nama dan arti Pipiltin. Sambil tertawa kecil, Tissa menjawab pertanyaan yang entah sudah keberapa kali ditanyakan pengunjung. "Kenapa? Aneh ya namanya? Pipiltin itu artinya people dalam Bahasa Aztec," jawabnya. Barulah saya menemukan benang merah antara nama, logo, dan desain interior kafe ini dengan asal muasal biji kakao!
Pipiltin Cocoa
Jl. Barito 2 No. 5, Kebayoran Baru (dekat London Beauty Centre, sederetan Cheesecake Factory)
Jakarta Selatan
Telepon: 021-72800011
www.pipiltincocoa.com
(fit/odi)