Kopi Luwak, Terkenal di Dunia Tapi Tak Disukai Pecinta Kopi

Trend Ngopi Enak

Kopi Luwak, Terkenal di Dunia Tapi Tak Disukai Pecinta Kopi

- detikFood
Kamis, 18 Sep 2014 10:04 WIB
Foto: Getty Images
Jakarta -

Harus diakui, kopi luwak membuat nama Indonesia dikenal di dunia kopi internasional. Namun, beberapa pakar kopi Indonesia justru kurang suka dengan kopi luwak. Banyak penyebabnya, salah satunya, faktor kesejahteraan luwak.

Menurut Arief Said, salah satu pemilik Morph Coffee, luwak hanya menjadikan buah kopi sebagai dessert. Makanya, luwak memilih buah kopi yang manis karena sudah matang. Sebenarnya makanan utama hewan ini adalah ayam, tikus, pepaya, dan pisang.

Karena buah kopi hanya dijadikan camilan, otomatis biji kopi yang keluar sebagai kotoran luwak sedikit. Padahal, permintaan sangat tinggi. Makanya, harga kopi luwak melambung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tergiur melihat keuntungan yang bisa didapat, beberapa orang menangkap luwak dan menaruhnya di kandang agar tak perlu susah-susah mencari kotoran luwak di hutan. "Sayang, kebanyakan orang tidak memberi luwak makanan selain kopi," tulis Arief lewat email ke Detikfood.

Parahnya, buah kopi yang diberikan tidak hanya yang matang, melainkan apa saja yang ada termasuk yang belum matang atau bahkan busuk. Karena tidak ada makanan lain, luwak terpaksa memakannya. Hal ini menyebabkan luwak tangkar berumur jauh lebih pendek daripada luwak liar.

"Bayangkan kalau kita hanya bisa makan mangga setiap saat, tentu kita jadi stres dan tidak sehat. Apalagi kalau mangga tersebut belum matang atau busuk," kata Arief.

Karena hanya diberi kopi, luwak jadi kekurangan protein. Menurut Irvan Helmi, salah satu pemilik Anomali Coffee, luwakpun diberi minum susu. "Ironis, anak peternak luwak saja belum tentu bisa minum susu," ujarnya saat dihubungi via telepon oleh Detikfood.

Irvan prihatin, petani kopi berubah menjadi peternak luwak karena 'manipulasi ekspansif' ini. Ariefpun sepakat. "Yang saya tahu, luwak bisa menyeleksi kopi yang manis. Tapi saya rasa manusia mestinya jauh lebih pintar mencari kopi yang enak, bukan?" ujar Arief.

Menurut Arief, semakin banyak pemain oportunis yang berkecimpung di industri kopi luwak, semakin bergeser fokus dari tumbuhan kopi dan jerih payah petani ke hewan.

Soal citarasa yang diklaim enak, ternyata tidak juga. Kopi luwak berkali-kali gagal lolos uji cupping, seperti yang pernah dilakukan Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA) dan lelang kopi di Indonesia. "Skor lebih tinggi malah didapat kopi nonluwak yang diperoleh dari tangan petani," kata Irvan.

Arief juga pernah melakukan percobaan yang melibatkan 10 orang. Ia memberi mereka kopi Jawa Timur nonluwak, kopi Jawa Timur luwak, dan kopi Papua tanpa memberi tahu jenisnya. Para peserta eksperimen diminta menebak mana kopi luwak serta menilai mana yang paling enak dan paling tidak enak.

Sebagian mengganggap yang paling enak adalah kopi Jawa Timur nonluwak, sedangkan sebagian lain memilih kopi Papua. Namun, semua yang hadir menilai kopi luwak paling tidak enak.

"Hampir semua orang menebak kopi Papua adalah kopi luwak. Hanya satu orang yang berhasil menebak kopi luwak, tapi iapun lebih menyukai kopi Papua," ujar Arief.

Tentu, tambah Arief, hasil percobaan ini tidak bisa digeneralisasi ke semua kopi luwak. "Banyak orang bilang pernah mencoba kopi luwak yang sangat spesial. Sayang, setelah mencoba sekitar 20 sampel kopi luwak yang pernah diberikan ke saya, saya masih merasa kopi yang dihasilkan dengan jerih payah manusia lebih enak," katanya.

Irvan menyayangkan 'manipulasi ekspansif' ini karena seleksi alami luwak terhadap kopi jadi tidak ada. "Kopi luwak jadi overrated," simpulnya. Dengan kata lain, kopi luwak banyak dicari lebih karena keunikan dan keeksotisannya daripada rasanya.

Bagaimanapun juga, Arief sadar bahwa ini adalah peluang bagi para petani dan pemain di industri kopi. "Kopi luwak akan terus ada selama permintaan masih ada. Secara bisnis, ini adalah kesempatan yang menarik. Namun bagi saya, jatuhnya jadi beban moral secara pribadi," pungkasnya.

(fit/odi)

Hide Ads