Peneliti dari University of Auckland dan University of Otago, Selandia Baru, menemukan hubungan positif antara kenaikan harga soda dan junk food dengan penurunan konsumsi keduanya. Seperti dimuat di jurnal PLoS Medicine, menaikkan 10% harga soda terkait dengan 1%-24% penurunan konsumsi soda. Sementara itu, meninggikan 1% harga makanan yang mengandung lemak jenuh terkait dengan berkurangnya 0,02% asupan energi dari makanan tak sehat tersebut.
Selain itu, ditemukan pula kaitan positif mengenai penurunan harga buah dan sayur dengan meningkatnya konsumsi makanan sehat. Jika harganya diturunkan sebanyak 10%, konsumsi buah dan sayur akan naik sebesar 2%-8%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, perlu dicatat bahwa dampak pajak atau subsidi makanan berbeda di tiap negara. "Tergantung oleh faktor-faktor seperti jenis sistem pajak yang diterapkan, status kesehatan, pemasaran, norma budaya, pendapatan yang dibelanjakan, dan peran sosial makanan," kata peneliti.
Peneliti juga menemukan bukti bahwa subsidi buah dan sayur memiliki dampak lain. Masyarakat bisa jadi mengurangi pembelian makanan sehat lain yang tak bersubsidi, misalnya ikan. Selain itu, karena soda dan junk food dikenakan pajak, masyarakat bisa beralih ke produk lain yang sama tak sehatnya seperti gula.
Faktor sosioekonomi juga perlu diperhatikan dalam penerapan strategi penetapan harga makanan tak sehat. Hal ini mungkin bisa diterapkan di Amerika Serikat, di mana obesitas justru terjadi pada masyarakat berekonomi rendah. Namun, efek yang sama belum tentu terjadi di Indonesia yang penderita obesitasnya kebanyakan kalangan menengah ke atas.
Studi sebelumnya di jurnal Health Affairs meramalkan bahwa pajak soda dapat mencegah 2.600 kematian, 9.500 serangan jantung, dan 240.000 kasus baru diabetes setiap tahun. Sebagian besar nyawa yang diselamatkan merupakan hasil dari turunnya berat badan dan risiko diabetes akibat berkurangnya konsumsi soda.
(fit/odi)