Olivier de Schutter mengajukan usul untuk menerapkan pajak pada soda dan junk food. Ia bekerja sebagai 'Special Rapporteur on the right to food' di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Usulan tersebut ia sampaikan dalam laporan terbaru UN Human Rights Council.
Menurut Olivier, akses terhadap makanan yang bergizi sama pentingnya dengan masalah kelaparan. Negara bertugas melindungi hak akan makanan yang memadai, khususnya dengan mengatur sistem pangan. Artinya, membiarkan industri pangan memproduksi makanan yang tidak sehat bagi masyarakat adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, PBB kurang menyoroti hal ini karena tidak termasuk dalam Millenium Development Goals (MDG). Namun, Olivier menawarkan beberapa solusi. Untuk menekan konsumsi junk food, pemerintah harus melarang lemak trans, mengatur pemasaran makanan yang tidak sehat, serta mendorong penyebaran titik akses produk-produk segar.
Di antara usulan tersebut, ada satu yang paling penting, yaitu pemerintah harus menerapkan pajak terhadap soda dan junk food. Olivier merekomendasikan pajak 10% untuk soda dan makanan yang tinggi lemak jenuh, lemak trans, sodium, dan gula.
Laporan PBB ini juga mengutip sebuah studi bahwa pajak dapat mengurangi konsumsi soda sebanyak 8-10%. Jika aturan pajak junk food adalah 1 penny per ons, maka pemasukan yang dihasilkan bisa mencapai 13 milyar dollar per tahun. Uang ini dapat digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan.
Berdasarkan berita yang dilansir Huffington Post, sebuah tim peneliti independen memprediksikan efek di 10 tahun pertama pajak junk food diberlakukan. Menurut mereka, akan ada 2,600 kematian, 9,500 kasus penyakit jantung, dan 240,000 kasus diabetes per tahun yang dapat dicegah.
Sudah ada beberapa negara yang memberlakukan pajak terhadap keripik kentang, burger, fast food, cokelat, dan minuman berkarbonasi. Aturan tersebut berlaku di beberapa negara bagian Amerika Serikat, Denmark, Finlandia, Hungaria, dan Perancis. Namun, Hungaria mengalami pengurangan pendapatan sebanyak 30% dari produsen junk food berskala sedang dan besar.
Bagaimanapun juga, argumen Olivier menuai kritik. Pajak terhadap soda dan junk food berpotensi menjadi pajak regresif yang lebih membebani orang miskin dibanding orang kaya. Selain itu, kebebasan individu untuk memilih minuman menjadi terbatas. Beberapa pihak juga berpendapat bahwa efek penurunan berat badan secara massal akibat pajak tersebut tidak signifikan.
(Odi/Odi)