Memasuki warung makan pak Barno yang ada di Jalan Pagongan, suasana siang itu benar-benar penuh sesak. Warung ini memajang meja-meja dan kursi-kursi kayu panjang yang berdampingan. Semuanya penuh dengan jajaran orang menunggu racikan nasi Lengko. Saya sempat kebingungan mencari tempat duduk yang kosong.
Udara di dalam warung makan yang berupa bagunan memanjang ini makin sumpek karena hanya ada kipas angin, tanpa jendela. Sementara itu kepulan asap harum satai kambing terus-menerus menyerbu ke dalam ruangan karena tiupan angin. Karena lapar dan terlanjur kangen nasi lengko maka sayapun merelakan diri berdiri mengantri tempat duduk. Tak ada pelayan yang menyambut apalagi menanyai, semuanya sibuk mondar-mandir membawa nasi lengko dan minuman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah duduk di salah satu sudut meja panjang, saya masih harus terus bersabar menanti giliran. Padahal sudah beberapa kali saya berdiri, mengingatkan pesanan saya pada bu Yayah, si nyonya Barno yang jadi kasir sekaligus mengatur urutan orderan. Sekantung kerupuk aci pun sudah nyaris habis buat pengganjal rasa lapar!
Lebih dari 15 menit menunggu akhirnya datang juga si nasi lengko dalam piring cekung. Sebenarnya nasi rames gaya Cirebon ini sangat sederhana. Potongan tahu dan tempe yang digoreng setengah kering di taruh di atas nasi, diberi tauge, irisan kucai dan timun lalu disiram sedikit bumbu kacang dan diperciki kecap manis.
Rasa gurih hangat tempe dan tahu berpadu dengan sambal kacang yang juga gurih pedas. Sapuan rasa manis kecap manis ‘Matahari’ lah yang membuat aksen rasa yang seimbang. Manisnya tidak terlalu kuat dan tegas tetapi cukup memberi sentuhan rasa yang enak. Buat saya tentu saja porsi nasinya terlalu banyak. Ya cocoknya memang nasi lengko disantap dengan kerupuk aci yang sederhana.
Lauk pelengkap yang saya pesan, seporsi satai kambing. Inipun juga harus melalui proses mengantri. Belum lagi dengan catatan yang sedikit 'mengancam' dari si mbak pelayan, "kalau mau daging saja lebih lama lagi antrinya." Wah, saya juga tak mau kalah, tetap saya tunggu 10 tusuk satai daging kambing karena saya tak doyan jeroan.
Satai kambing panas mengepul disajikan dengan sambal kacang plus kecap. Rasanya tak terlalu istimewa. Bahkan beberapa tusuk diselingi dengan potongan daging yang kurang empuk. Karena itu pula maka satai kambing yang sudah saya antri ini tak bisa saya habiskan.
Untuk penghilang rasa gurih di lidah saya memutuskan minum teh kemasan botol yang harus diambil sendiri dari cooler. Awalnya saya ingin memesan es durian tetapi lagi-lagi antrian order masih panjang maka saya batalkan niat saya.
Seporsi nasi lengko lumayan murah Rp 6.000 dan seporsi satai kambing Rp 10.000,00. Mungkin lain kali kalau mampir saya harus mencari waktu yang pas. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 14.00 tetapi pak Barno masih saya meracik nasi lengkonya untuk pelanggan yang masih saja berdatangan. Sementara tumpukan potongan tempe dan potongan tahu yang direndam dalam ember menanti giliran digoreng!
Nasi Lengko Pak Barno
Jalan Pagongan (menurut keterangan pada sepotong kertas bulan depan warung ini akan pindah di dekat showroom Yamaha, tak jauh dari lokasi sekarang)
Cirebon
(dev/Odi)