Oh... Tempeh!!!

Oh... Tempeh!!!

- detikFood
Senin, 14 Jan 2008 12:29 WIB
Jakarta - Pagi ini saya kok tiba-tiba merasa seperti terserang tempe blue. Perasaan tak keruan karena tempe. Ini pasti karena saya tergolong sebagai penggila tempe. Terus terang saya agak kaget saat mendengar berita para perajin tempe dan tahu se-Jabodetabek benar-benar akan berdemo di depan Istana Negara!

Kemarin pagi Tardjo, penjual tempe langganan saya sudah pamit, "Bu maaf hari ini saya antar 2 potong ya karena besok pagi saya ndak jualan mau ke istana," demikian katanya sambil tetap senyum. Senyum ramah dan malu seperti beberapa hari yang lalu saat memberi kabar kalau tempe yang sepotong Rp.3.000,00 naik jadi Rp. 5.000,00.

Memang saya dan keluarga tergolong penggila tempe, tiada hari tanpa tempe. Bukan saja karena kami berasal dari Jawa tetapi rasanya dari dulu nenek saya juga sudah jadi penggila tempe. Sampai semalam saya pun memaksakan diri, mencari penjual tempe mendoan. Untung saja masih ada tempe mendoan yang dijual meskipun jumlahnya sedikit. Jadilah 6 potong tempe mendoan yang hangat kemepul jadi menu makan malam saya. Hitung-hitung sebagai farewell dinner kalau akhirnya tempe tak diproduksi lagi!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya bukan karena rasa gurihnya saja yang membuat tempe terasa enak tetapi harganya yang relatif murah membuat tempe jadi idola rakyat banyak. Kalau mau membalik-balik catatan sejarah, tempe sudah sejak ribuan tahun sebagai makanan khas rakyat Indonesia (Jawa). Ya di surat Centini, catatan sejarah orang Belanda, orang Jepang dan orang Amerika. Semua menyebutkan tempe sebagai makanan khas Indonesia. Padahal kalau di Indonesia menyebut tempe berkonotasi 'remeh' dan 'rendah'. Karena itu ada istilah 'bangsa tempe', atau 'mental tempe'. Tetapi, sebenarnya tempe justru harus dihormati karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat dahsyat.

Tempe yang dibuat dari kacang kedelai kuning yang direbus kemudian diaduk dengan ragi tempe yang disebut Rhizopus oligosporus. Setelah didiamkan semalam dan tumbuh jamur yang putih merata di permukaannya, jadilah tempe. Tempe yang sudah dimasak, sekitar 100 gram, mengandung protein (18.2), lemak (11.4), Sodium (14), berbagai mineral (fosfor, magnesium, seng, besi), vitamin (vitamin B6 dan B12). Yang hebat, kandungan serat dan lemak tempe sangat bersahabat untuk jantung. Belum lagi soal vitamin, tempe adalah satu-satunya bahan pangan yang mengandung vitamin B12. Tak heran jika tempe selalu dianjurkan untuk dikonsumsi bagi penderita diare dan diabetes.

Kedahsyatan tempe ini harusnya kita syukuri sebagai karunia dari surga. Dengan didukung oleh riset akurat, para peneliti di Amerika sudah mempromosikan tempe sebagai pengganti daging yang sehat karena tak mengandung kolesterol. Tak heran jika tempe (disebut sebagai 'tempeh' dan dibaca 'tem-pay') di Amerika jadi makanan unggulan. Kinipun tempe sudah dijual di hampir semua pasar swalayan dan puluhan perusahaan tempe yang ternama seperti White Wave, Pacific Tempeh, The Tempeh Works.

Olahan tempe pun sangat bervariasi; ada tempeh burger, tempeh sloppy Joe (seperti hotdog), tempeh stroganoff dan tempe stick atau tempeh fries yang mirip kentang goreng Prancis. Di tahun 1980 American Soybean Association pernah berkampanye di Indoensia soal gizi tempe dan memperkenalkan olahan tempe burger yang kemudian jadi populer.

Sayang sekali American Soybean Association tak gencar berpromosi lagi, apalagi setelah saya cek ternyata mereka tak punya perwakilan di Indonesia, hanya ada di India, dan Singapura. Harusnya mereka punya kepentingan karena kedelai yang diolah jadi tempe tahu di Indonesia sebagian besar diimpor dari Amerika. Andai saja pemerintah serius menangani urusan kedelai dan tempe maka tak akan ada demo. Petani dan perajin memiliki akses untuk mengetahu hasil riset, bisa membeli kedelai dan ragi dengan harga stabil, bisa menjual produk dengan harga bagus, dibimbing untuk berproduksi secara hiegenis dan modern.

Kalau didukung dengan kampanye makan tempe sebagai sumber nutrisi yang hebat tentu rakyat Indonesia makin sehat dan kuat. Produsen atau perajin tempe juga bisa maju dan sejahtera hidupnya. Bukan tak mungkin mendirikan Indonesian Soybean Association atau Indonesian Tempeh Association yang tak sekedar mengurusi harga kedelai yang naik turun tak menentu.

Pamor tempe yang sudah mengglobal, ternama di dunia sebagai sumber protein nabati yang hebat ternyata sangat kontras dengan nasib Tardjo si penjual tempe dan juragan tempenya. Kalau soal kreatif, orang Indonesia juga terkenal hebat. Tempe pun dikenal dengan varian lain seperi tempe bongkrek, tempe gembus, tempe koro benguk Soal kenikmatan makan tempe juga tak ada duanya di dunia.

Bahkan tempe yang sudah setengah busuk (over fermentasi) dikenal dengan dua jenis tempe semangit-masih belum terlalu busuk dan tempe bosok atau tempe busuk. Aduh, tempe semangit ini favorit saya, dicampur dalam sayur lodeh terung atau dibuat sambal tumpang (dengan tambahan santan dan koyor). Maka jangan heran kalau mantan presiden Suharto juga punya favorit sayur lodeh, tempe goreng dan sambal terasi!

Sambil mengenang tempe yang hari ini absen di meja makan saya, sayapun mengenang kelezatan olahan tempe favorit saya. Tempe bacem (yang manis gurih kalau digigit sedikit berair, enak dimakan bersama cabai rawit), sambal tempe (sambalnya pakai bawang putih, tempe dibakar dan dimemarkan ke dalam sambal), tempe goreng tepung (adonan tepungnya dari tepung beras, pakai irisan daun bawang kalau digigit kres...kres...), mangut tempe (sayur mangut pakai ikan pari asap, tempe, labu siam plus irian cabai hijau), juga terik tempe (tempe dimasak dengan bumbu santan kuning, gurih, nyemek-nyemek.

Wah, kayaknya saya tak sanggup lagi melanjutkan kenangan kelezatan ini. Makin sedih saja. Semoga Tardjo sempat makan siang ini dan pemerintah serius menanggapi demo mereka. Apa pak Presiden sudah nggak doyan tempe ya? (dev/Odi)

Hide Ads