Pagi ini saya malas minum yoghut dan jus buah yang sudah jadi menu sarapan rutin. Lha, kok tiba-tiba saya kangen berat sama tiwul. Membayangkan muluki (makan dengan tangan) tiwul hangat, sambail dicocol kelapa parut dan ditutup dengan meneguk secangkir teh yang nasgitel (panas legi kentel – panas manis kental), luar biasa nikmat! Dengan bayangan kenikmatan itulah saya menyinggahi penjual jajan pasar langganan saya. "Wah bu sementara ndak jualan tiwul. Belum dapat kiriman dari Yogya," demikian tutur penjualnya. Walah, kok susah ya cari tiwul di Jakarta ini. Jangan-jangan sebentar lagi jadi barang exclusive! Terpaksa saya menelan air liur dengan kecewa.
Tiwul dari dulu memang tidak pernah naik gengsi. Nama tiwul selalu identik dengan kemiskinan dan kelaparan. Tiwul dibuat dari singkong yang dikupas, dikeringkan (jadi gaplek) lalu ditumbuk halus. Setelah dicampur air lalu dikukus dan jadilah seperti nasi. Kalau tiwul sebagai jajan pasar yang saya rindukan itu dibuat dengan tambahan gula merah, daun pandan dan kelapa parut dan rasanya manis. Saya ingat waktu KKN di desa Tepus, Gunung Kidul, tiwul dimakan seperti nasi. Lauknya sayur lombok ijo yang pedes dengan tempe goreng dan kadang-kadang gembus goreng. Khusus untuk tiwul manis saya suka dengan tambahan serutan gula merah jadi warnanya belang-belang cokelat dan rasanya lebih manis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gerakan penganekaragaman pangan yang pernah dikampanyekan oleh presiden Soeharto membuat tiwul menjadi lebih diperhatikan. Pak Harto tak segan menyantap tiwul dan mengajak rombongannya makan tiwul waktu kunjungan kerja ke daerah Jawa Tengah. Gaung penganekaragaman pangan itu juga berlanjut hingga sekarang (meskipun menjadi makin nyaris tak terdengar). Penelitian soal tiwulpun menjadi prioritas di daerah Jawa Tengah. Para peneliti pangan akhirnya berhasil menciptakan ‘titan’ alias ‘tiwul instant’. Seperti mi instant, tiwul yang berupa butiran kecil yang sudah kering tinggal diseduh air panas dan didiamkan dalam beberapa menit bisa langsung disantap. Jadi dengan proses pengeringan modern maka tiwul jadi lebih hiegenis dan aman. Yang lebih penting bisa dikonsumsi kapan saja.
Tahun 2002, Bogasari Flour Mills meluncurkan pabrik tiwul instant terbesar di Gunung Kidul Yogyakarta. Kabupaten Gunung Kidul dipilih sebagai lokasi karena tergolong sebagai daerah terminus. Berkat kemajuan penelitian pangan pula, tiwul instant ini dicampur dengan tepung kacang hijau, tepung kedelai dan tepung kentang. Agar masyarakat tidak mengalami kekurangan gizi, ditambahlah dengan vitamin A, zat besi dan yodium. Tiwul instant dalam kemasan plastik yang cantik inilah yang saya cicipi saat acara Pameran Produksi Indonesia 2 tahun silam. Variasi rasanya juga sangat beragam ada rasa cokelat, manis, tawar, rasa nasi goreng dan juga ada yang berkuah dengan rasa lodeh, kare ayam dan asam manis. Saat mencicipi tiwul rasa cokelat, terus terang lidah saya tidak 100% menerima meskipun rasanya manis cokelat. Mungkin karena rasa gula merah yang sudah mendominasi memori rasa saya. Ya selera ndeso!
Sekarang tiwul instant sudah banyak dijual di toko oleh-oleh terutama di daerah Jawa Tengah juga dari daerah Jawa Timur. Saya sempat menyimpan beberapa bungkus tiwul instant gula Jawa pemberian mas Widodo dari Dinas Ketahanan Pangan Jateng. Menurut saya tiwul instant ini paling enak meskipun harus dikukus dulu. Sama dengan kualitas Titan merk Rr.Srikandi produksi Gunung Kidul yang sudah habis karena dikukus tiap hari oleh ibu saya yang juga penggila tiwul. Ya, sudahlah sambil menelan liur saya masih bisa nyanyi 'tiwul asale saka telo, endas gundul gawe ati gelo…!' (dev/)