Selama ini konsumsi makanan kalengan memunculkan banyak kontra. Makanan ini disebut minim nutrisi, berpengawet, dan mengandung garam tinggi. Penggunaan bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan kaleng juga dinilai berisiko bahayakan kesehatan.
Bahan kimia ini dipakai untuk melindungi makanan dari korosi logam dan bakteri. Namun sayangnya lapisan BPA bisa luntur dan bercampur dengan makanan dalam kaleng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Baru-baru ini peneliti di Universitas Stanford dan Johns Hopkins fokus melihat hubungan konsumsi makanan kalengan tertentu dengan paparan tinggi BPA. Studi yang dipublikasikan Environmental Research ini menyoroti tantangan yang dihadapi konsumen untuk membatasi paparan BPA. Seperti diketahui, makanan berbeda memiliki jumlah kontaminasi BPA yang berbeda pula.
"Saya bisa makan 3 kaleng peach, dan Anda makan 1 kaleng sup krim jamur dengan paparan BPA yang lebih tinggi," ujar Jennifer Hartle selaku pemimpin penelitian kepada Stanford News (29/6).
Penelitian sebelumnya fokus menganalisis kadar BPA dalam makanan kalengan dan mengukur paparan BPA dalam kelompok berjumlah kurang dari 75 orang. Peneliti mengevaluasi makanan kalengan yang jadi sumber kontaminasi BPA dan kadar BPA pada urin orang-orang yang baru saja mengonsumsinya. Analisis ini didapat dari ribuan orang yang datang dari usia, latar belakang geografis, dan sosial ekonomi berbeda.
Hartle dan rekan menemukan konsumsi makanan kalengan berhubungan dengan konsentrasi BPA yang lebih tinggi pada urin seseorang. Semakin banyak makanan kaleng yang dikonsumsi, maka semakin tinggi pula paparan BPA-nya.
Peneliti juga menemukan beberapa jenis makanan kalengan berhubungan dengan konsentrasi BPA yang lebih tinggi pada urin. Penyebab terburuk berdasarkan urutan paling banyak ke paling sedikit adalah sup kalengan, pasta kalengan, dan buah serta sayur kalengan.
![]() |
Sebelumnya penelitian Hartle menemukan anak-anak yang rentan terkena gangguan hormon dari BPA mengalami hal ini karena mengonsumsi makanan dari sekolahnya. Makanan tersebut kebanyakan berupa makanan kaleng dan kemasan lain.
Dalam rangka Stanford Woods Institute for the Environment's Rising Environmental Leaders Program pada tahun 2015, Hartle telah bertemu sejumlah anggota Kongres yang bertugas menyusun peraturan BPA dalam kemasan makanan.
California, misalnya, telah memasukkan BPA dalam daftar toksikan reproduksi wanita. Sedangkan Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat (FDA) membatasi penggunaan BPA dalam beberapa produk. Pihaknya kini juga masih bekerja untuk menjawab pertanyaan kunci dan mengklarifikasi ketidakpastian tentang BPA.
"FDA tidak lagi mengijinkan penggunaan BPA pada botol bayi, gelas minum anak, dan lapisan kaleng susu formula anak. Banyak perusahaan makanan dan minumanpun kini tidak lagi menggunakan BPA. Namun kami tidak tahu apakah pengganti BPA sintetis benar-benar aman," ujar Hartle.
Para peneliti menyarankan pemerintah agar memperluas pengujian penggunaan bahan kimia. Tak hanya BPA tetapi juga bahan kimia lain yang digunakan sebagai pengganti BPA di kemasan makanan. Pengujian ini sebaiknya dimasukkan dalam studi monitoring nasional.
(adr/odi)