Kasus keracunan massal yang menimpa ribuan siswa dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ini memicu keprihatinan publik, terutama kasus keracunan di Bandung Barat yang menarik perhatian publik sampai sekarang.
Gejala seperti mual, muntah, dan diare muncul setelah anak-anak mengonsumsi makanan yang disediakan melalui dapur-dapur MBG.
Dari hasil penelusuran, salah satu penyebab utama kasus ini adalah pengelolaan dan penanganan makanan (food handling) yang belum merata. Kondisi ini memicu kontaminasi makanan hingga menjadi salah satu penyebab maraknya kasus keracunan pada anak sekolah usai menyantap MBG.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Kepala BGN Dadan Hindayana dan Wakil Kepala Nanik S. Deyang yang mengakui adanya kekurangan pada program MBG. Mereka berjanji akan memperketat pengawasan dan meningkatkan standar higienitas makanan MBG.
Presiden Prabowo Subianto turut menginstruksikan penertiban dapur MBG (SPPG), penyediaan alat tes, serta penerapan SOP ketat.
Untuk memahami persoalan ini, detikFood menghubungi Wira Hardiyansyah, seorang traveling chef, budayawan, sekaligus ahli kuliner (30/09/20205).
Wira menegaskan kasus keracunan pada program MBG ini bukan hanya soal menu atau kualitas bahan makanan saja, melainkan juga soal manajemen keamanan pangan yang belum dijalankan secara menyeluruh.
Menurutnya ada tiga hal utama yang perlu dipahami yaitu konsep food handling dan danger zone pada pengelolaan makanan, pentingnya HACCP, serta langkah konkret pencegahan agar makanan tidak cepat terkontaminasi.
1. Food Handling dan Danger Zone
![]() |
Menurut Wira Hardiyansyah, food handling adalah istilah yang mencakup seluruh proses pengelolaan makanan sejak bahan diterima hingga disajikan kepada konsumen. Proses ini tidak berhenti di tahap memasak, melainkan juga mencakup penyimpanan, distribusi, hingga waktu konsumsi.
"Sering kali orang berpikir kalau masakannya sudah matang, maka otomatis aman. Padahal titik kritis justru muncul setelah masakan selesai dimasak. Jika tidak dikendalikan, makanan bisa masuk ke dalam yang disebut danger zone," ujar Wira.
Danger zone adalah rentang suhu 4°C hingga 60°C. Pada suhu inilah bakteri patogen seperti Salmonella, E. coli, atau Staphylococcus aureus berkembang biak dengan sangat cepat. Jika makanan dibiarkan berada dalam rentang suhu tersebut lebih dari 2-3 jam, risiko keracunan meningkat tajam.
![]() |
Dalam industri hotel dan restoran, praktik standar adalah menjaga makanan panas tetap berada di atas 60°C menggunakan alat warmer atau segera mendinginkan makanan hingga di bawah 4°C jika tidak langsung dikonsumsi.
"Masalahnya, di banyak dapur MBG tidak ada peralatan itu karena memang alat warmer ini harganya terbilang mahal. Banyak isu yang beredar bahwa makanan untuk MBG dimasak dari dini hari, meski saya juga belum tahu kebenaran akan kabar ini. Tapi makanan itu sebaiknya wajib dikonsumsi paling lama 2-3 jam setelah dimasak dalam suhu ruangan. Sama seperti di prasmanan di hotel atau buffet, makanan akan diganti setelah 2-3 jam," jelas Wira.
2. HACCP dan Fungsinya Untuk Mencegah Keracunan Makanan
![]() |
Untuk mengatasi persoalan seperti ini, dunia kuliner internasional mengenal sistem HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point). Sistem ini bersifat sistematis dan ilmiah, digunakan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, serta mengendalikan potensi bahaya dalam rantai pengolahan makanan mulai dari bahan baku hingga produk akhir.
HACCP bermanfaat melindungi konsumen dari keracunan, meningkatkan reputasi penyedia makanan, memenuhi regulasi, serta mengurangi kerugian bisnis akibat produk berbahaya. Di Indonesia, BPOM mengatur HACCP lewat Peraturan No. 11/2019, dan sertifikasi wajib untuk ekspor.
"HACCP adalah sistem PENTING untuk menjaga keamanan pangan dari berbagai risiko yang bisa membahayakan konsumen. Dengan mengikuti prinsip-prinsip HACCP, perusahaan tidak hanya memenuhi standar keamanan pangan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan si konsumen," terang Wira.
Sayangnya menurut Wira, sebagian besar dapur MBG belum menerapkan sistem HACCP secara konsisten.
"Inilah yang membuat kasus keracunan terjadi berulang-ulang. Padahal jika prinsip HACCP dijalankan sesuai prosedur, resiko seperti ini bisa ditekan seminimal mungkin," ujarnya.
3. Upaya Pencegahan agar Makanan Tidak Gampang Terkontaminasi
![]() |
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kasus serupa? Wira menawarkan sejumlah langkah praktis yang bisa diterapkan, baik di dapur besar MBG, usaha katering, maupun industri rumahan. Salah satunya dengan memperhatikan suhu makanan setelah dimasak.
"Saya rasa penjual makanan sudah paham dengan konsep ini, bahwa makanan yang masih panas tidak boleh langsung ditutup atau dimasukkan ke kulkas. Karena uap panas dari makanan akan menciptakan embun, dan tetesan embun itu akan masuk ke dalam makanan sehingga makanan ini lebih mudah rusak atau basi," tutur Wira.
Sementara untuk menu MBG, cara yang menurut Wira paling mudah untuk mengurangi potensi keracunan adalah pemerintah menggunakan katering atau penjual makanan UMKM yang ada di sekitar sekolah.
"Rata-rata dapur MBG dan lokasi sekolah itu jauh. Jadi rentan sekali makanan sampai dalam kondisi yang sudah tidak bagus lagi. Kalau misalnya pemerintah beralih dengan menyewa katering dekat sekolah, selain bisa membantu memajukan UMKM, kualitas makanan pun lebih terjaga dan potensi makanan terkontaminasi itu lebih sedikit. Karena kurang dari dua jam setelah dimasak, makanan sudah ada di sekolah," pungkas Wira.
Simak Video "Video: Kepala BGN Setop SPPG di Bogor Buntut Kasus Keracunan Massal MBG"
[Gambas:Video 20detik]
(sob/adr)